Tempat Untuk Belajar Segalanya.............

semua bisa saling tukar ilmu..

Sabtu, 12 Februari 2011

Penambang Belerang


BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Kepulauan Indonesia dan Filipina merupakan dua kepulaun utama yang membentuk  Asia vulkanis melalui wujud barisan gunung berapi. Gunung berapi sangat mendominasi pemandangan sejumlah besar pulau di Asia Tenggara kepulauan dan menjadikan Indonesia sebagai wilayah aktif terbesar di dunia dengan jumlah gunung berapi terbanyak (kurang lebih 500 gunung), terutama di pulau Jawa dan Bali. Dalam hal ini, Jawa adalah sebuah contoh unik dengan zona vulkanis ditengah pulau yang memanjang pada arah Timur-Barat. Dari jumlah 33 gunung berapi yang terdapat di pulau ini, 17 masih aktif. Rangkaian gunung berapi ini berawal dari Sumatra bagian selatan, memanjang ke Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kemudian melintasi Jawa, Bali, Lombok, Sumba, Flores sebelum menghilang di laut Banda. Rangkaian gunung berapi ini benar-benar terputus di pulau Seram dan Timor. Terbentuknya jalur gunung api ini terkait dengan posisi Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng besar. Yakni lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng IndoAustralia (Forestier, 2007:80-81).  
Kabupaten Banyuwangi merupakan bagian yang paling timur dari Wilayah Propinsi Jawa Timur, dengan ketinggian antara 25-100 meter di atas permukaan laut. Kabupaten memiliki panjang garis pantai sekitar 175,8 km yang membujur sepanjang  batas selatan timur Kabupaten Banyuwangi, serta jumlah pulau ada 10 buah. Kabupaten Banyuwangi mempunyai lereng dengan kemiringan lebih dari 40% meliputi lebih kurang 29,25% dari luas daerah yang mempunyai tinggi tempat lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Dengan jumlah penduduk 1.676.900 jiwa (2007). Batas-batas wilayah Kabupaten Banyuwangi :



 1. Utara          : Kabupaten Situbondo dan Bondowoso,
 2. Timur          : Selat Bali,
 3. Selatan       : Samudera Indonesia        
 4. Barat          : Kabupaten Jember dan Bondowoso
Kabupaten Banyuwangi juga memiliki beberapa gunung yang memiliki panorama alam serta sumber daya yang menawan. Dari sekian gunung yang ada di Banyuwangi ada yang masih bersifat aktif atau bisa disebut gunung api, gunung itu adalah Gunung Ijen yang berada di Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Menurut masyarakat Banyuwangi, Gunung Ijen ini disebut juga Kawah Ijen karena kawahnya yang indah didukung oleh ekosistem disekitar kawah yang menakjubkan; dataran tinggi ini masuk area Taman Nasional Alas Purwo (TNAP).
Bagi masyarakat luar Desa Tamansari kawasan ini cocok dijadikan tujuan pendakian untuk keluarga, karena kawasan ini sudah didukung dengan fasilitas seperti jalan menuju lokasi, areal perkemahan (camping ground), penginapan serta pondok wisata yang cukup memadai dan bagi masyarakat  Desa Tamansari kawasan Ijen dimanfaatkan untuk menambang belerang karena melimpahnya sumber daya alam ini dan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mereka dengan berani mendekati danau untuk menggali belerang dengan peralatan sederhana lalu dipikul dengan keranjang. Para penambang belerang ini mengambil belerang dari dasar kawah. Di sini asap cukup tebal, namun dengan peralatan penutup hidung sekadarnya seperti sarung, mereka tetap mencari lelehan belerang. Lelehan belerang di dapatkan dari pipa yang menuju sumber gas vulkanik yang mengandung sulfur. Gas ini dialirkan melalui pipa lalu keluar dalam bentuk lelehan belerang berwarna merah. Setelah membeku belerang berwarna kuning. Setelah belerang dipotong, para penambang akan memikulnya melalui jalan setapak. Beban yang dipikul cukup berat antara 80 hingga 100 kg. Para penambang sudah terbiasa memikul beban yang berat ini sambil menyusuri jalan setapak di tebing kaldera menuruni gunung sejauh 3 kilometer.
Kehidupan sosial penambang belerang yang sangat terjaga dengan baik, para penembang bekerja dengan berangkat dan pulang bersama-sama dalam setiap aktivitasnya sebagai penambang. Rasa sosial yang tinggi ditunjukkan dengan adanya sebuah kepedulian dan rasa kehilangan jika salah satu teman mereka tidak bekerja. Adanya kebiasaan bercanda bersama saat penambangan membuat mereka terikat pada suatu ikatan emosional yang tinggi. Para penambang saling bertanya jika ada salah satu dari temannya tidak masuk kerja.
Keberadaan lokasi penambangan juga menjadi keunikan yang lain dari wisata Kawah Ijen selain tentunya keindahan panorama yang ada di sana. Penambangan belerang disini masih memakai cara tradisional yang pengangkutannya memakai cara di angkut/dipikul tenaga manusia. Penambangan tradisional ini konon hanya terdapat di Indonesia yaitu di Gunung Welirang dan Ijen. Penambangan yang sudah ada sejak era kolonial Belanda tersebut masih tetap memakai cara tradisional sampai sekarang ini. Dengan melimpahnya persediaan sumber alam yang dihasilkan oleh suatu daerah maka akan mengakibatkan banyak orang berniat untuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan bagi dirinya dan masyarakat sekitar.
Adanya sebuah tradisi sedekah atau sesajen setiap bulan suro memberikan sebuah nilai keunikan tersendiri tentang penambangan belerang yang ada di gunung Ijen, hanya di gunung Ijen tradisi tersebut ada dan selalu dilaksanakan untuk dijaga kelestariannya sebagai wujud dari adanya rasa hormat kepada leluhur serta lambang adanya hubungan antara para penambang dengan penguasa alam. Meski derasnya arus globalisasi dan perspektif atau pandangan masyarakat yang semakin modern. Para penambang tetap dengan rutin melakukan ritual tersebut karena adanya sebuah kepercayaan yang kuat jika ritual atau sesembahan tersebut tidak dilaksanakan maka akan membuat para penambang celaka saat bekerja.
Sedangkan sebuah ritual lain yang dilaksanakan di sekitar gunung Ijen adalah pemberian sesaji disekitar area penambangan setiap kamis legi dengan menaruh nasi dengan lauk pauknya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk mitologi yang disakralkan oleh mereka dengan asumsi bahwa kamis legi yang menurut para penambang sebagai hari diawalinya kegiatan penambangan pertama kali harus tetap diperingati atau disakralkan karena hari itu dianggap para penambang mendapat ijin menambang dari penunggu gunung Ijen.
Selanjutnya berbicara soal kehidupan para penambang, rata-rata para penambang belerang hidup secara sederhana dan mengalami kesulitan ekonomi. Di kawasan tersebut, terutama mereka yang tempat tinggalnya di lereng Ijen, memilih untuk bekerja sebagai penambang belerang. Pilihan ini diambil karena untuk menjadi penambang belerang tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi yang dibutuhkan hanyalah kerja keras dan kekuatan fisik.
      Jika kita lihat secara langsung kehidupan para penambang belerang sangat minim sekali. Dinaikkannya harga belerang menjadi 600 rupiah perkilogramnya tidak banyak membantu para penambang dalam mencukupi kebutuhan hidupnya apalagi bagi mereka yang  mempunyai anak dalam jumlah yang banyak serta para penambang yang memang sudah berusia lanjut sudah tidak kuat lagi mengangkat beban yang terlalu berat, akhirnya para penambang yang tergolong manula ini mengangkut belerang semampunya tanpa adanya target hasil.
Hal ini menjadi salah satu kendala bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, padahal kebutuhan hidup yang harus dipenuhi semakin tinggi. Belum lagi dampak dalam diri penambang belerang yakni kerusakan paru-paru akibat gas yang dikeluarkan oleh kawah dimana tempat bebatuan  belerang berada.
      Kegiatan penambangan ini juga ternyata sempat menimbulkan kontroversi. Akibat keuntungan yang menjanjikan, sempat juga dipaksakan sebuah proyek pembuatan pipa saluran yang dapat langsung menuju tempat  olahan di pinggir jalan raya. Namun, karena desakan beberapa LSM lingkungan setempat yang merasa keberatan akan kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi dari pembangunan tersebut, akhirnya proyek itu tidak jadi dilaksanakan. Bisa dibayangkan memang bila proyek tersebut benar terjadi, berapa banyak daerah yang akan tergerus, belum lagi dampak hilangnya mata pencaharian para penambang tradisional yang sudah puluhan tahun menambang di Gunung Ijen.
      Bagaimana sejarah penambangan belerang serta dinamika kehidupan social ekonomi para penambangnya begitu pula dampaknya membuat penulis tertarik mengangkatnya menjadi sebuah penelitian.
Penelitian ini mencoba untuk mengkaji sebuah sisi keunikan dari kehidupan di kawah ijen, dengan kalimat judul Tinjauan Historis Dan Dinamika Sosial Ekonomi Penambang Belerang di Gunung Ijen Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi Tahun 1968-2010”.  Alasan yang melatar belakangi penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut adalah: 1) Masalah ini belum banyak diteliti; 2) Penelitian-penelitian sebelumnya masih terbatas pada faktor-faktor  yang mempengaruhi angkatan kerja menjadi buruh tambang belerang. Penelitian ini ditulis dalam skripsi Mokhamad Basri (1998) yang mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi angkatan kerja menjadi buruh tambang belerang  di Gunung Ijen dan skripsi Ida Rizanti (2007) hanya mengungkapkan tingkat pendapatan penambang  belerang sebelum dan sesudah kenaikan harga bahan bakar minyak  (BBM). Penelitian ini belum mengungkapkan fenomena sejarah penambangan belerang disekitar kawasan gunung ijen; 3) Ingin mengkaji lebih dalam mengenai sejarah dan dinamika sosial ekonomi penambang belerang di Gunung Ijen di Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi.4) Ada sisi keunikan dari kegiatan penambangan belerang digunung ijen, yakni tradisi yang tetap lestari pada bulan suro untuk berharap keselamatan bagi para penambang.

1.2   Penegasan Pengertian Judul
Untuk menghindari terjadinya perbedaaan persepsi mengenai pengertian judul penelitian ini, maka penulis memandang perlu memberikan penegasan maksud judul “Tinjauan Historis Dan Dinamika Sosial Ekonomi Penambang Belerang di Gunung Ijen Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi Tahun 1968-2010”
Tinjauan Historis yang dimaksud adalah bagaimana kajian sejarah tentang keberadaan penambangan belerang dilihat dari sudut pandang sejarah.
      Pengertian dinamika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gerak masyarakat secara terus menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan (Depdikbud, 1991:234). Menurut Soekanto (1993:377) kehidupan sosial adalah berfungsinya suatu struktur sosial didalam masyarakat. Perubahan sosial yang dimaksud dlam penelitian ini adalah kondisi yang menyangkut interaksi sosial (keluarga, teman, dan masyarakat), stratifikasi sosial, mobilitas sosial dan tingkat pendidikan. Adapun kehidupan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini menyangkut pendapatan dan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat dengan keberadaan Gunung Ijen sebagai tempat penambangan belerang. Jadi yang dimaksud dengan perubahan ekonomi dalam penelitian ini adalah segala perubahan dalam kondisi masyarakat yang mempengaruhi pendapatan dan kegiatan ekonomi penambang belerang.
      Penambang belerang adalah orang yang bekerja menggali atau mengambil pengangkut belerang dari kawah Gunung Ijen. Adapun yang dimaksud dengan Gunung Ijen merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Banyuwangi yang selalu ramai dikunjungi baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.
      Pengertian judul “ Tinjauan Historis Dan Dinamika Sosial Ekonomi Penambang Belerang di Gunung Ijen Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi Tahun 1968-2010” dalam penelitian ini adalah kajian sejarah tentang munculnya keberadaan penambangan belerang serta perubahan atau perkembangan yang terjadi secara kompleks dalam kehidupan masyarakat penambang belerang yang terus menerus sejak keberadaan para penambang pertama kali di Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi selama kurun waktu tahun 1968 sampai tahun 2010.

1.3  Ruang Lingkup Penelitian
Penentuan ruang lingkup dalam penelitian ini perlu dibatasi agar tidak menyimpang dari uraian fokus permasalahan, baik yang menyangkut temporal, spasial atau tempat maupun materi. Mengenai batas temporal dalam penelitian ini adalah tahun 1968-2010. Tahun 1968 dijadikan awal pembahasan terhadap tinjauan sejarah para penambang dengan pertimbangan bahwa tahun itu merupakan awal dimulainya penambangan belerang di Gunung Ijen. Batas akhir tahun penelitian adalah tahun 2010 dengan pertimbangan bahwa pada tahun tersebut penulis melakukan penelitian. Meskipun pembatasan ruang lingkup seperti ini sesuai dengan realita bidang sejarah anthropologi, tidak menutup kemungkinan penulis untuk sedikit mengkaji permasalahan yang terjadi sebelum dan sesudah batasan tersebut yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
Lingkup spasial atau tempat yang diambil dalam penelitain ini adalah wilayah Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi tahun 1968-2010. Sedangkan untuk lingkup materi penelitian ini meliputi sejarah keberadaan aktivitas penambangangan belerang dan dinamika kehidupan ekonomi penambang belerang itu sendiri.

1.4    Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan permasalahan/paparan latar belakang dan ruang lingkup diatas, maka permasalahan yang menjadi objek kajian dapat penulis rumuskan sebagai berikut:
  1. Bagaimana sejarah penambangan belerang di Gunung Ijen Desa Tamansari?
  2. Bagaimana keunikan penambangan belerang yang ada di Gunung Ijen?
  3. Bagaimana dinamika kehidupan sosial ekonomi penambang belerang di Gunung Ijen Desa Tamansari tahun 1968-2010?
  4. Bagaimana dampak penambangan belerang di Gunung Ijen Desa Tamansari?

1.5  Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.      Mengkaji lebih dalam sejarah penambangan belerang di Gunung Ijen Desa Tamansari.
2.      Mengkaji lebih dalam keunikan penambangan belerang yang ada di Gunung Ijen?
3.      Mengkaji lebih dalam dinamika kehidupan sosial ekonomi penambang belerang di Gunung Ijen Desa Tamansari tahun 1968-2010.
4.      Mengkaji lebih dalam tentang dampak yang ditimbulkan akibat penambangan belerang di Gunung Ijen desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi.

1.6  Manfaat Penelitian
Penelitian kami diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik penulis maupun pembaca. Adapun manfaat yang dapat kita peroleh dari penelitian kami adalah
1.      Bagi penulis diharapkan dapat digunakan sebagai sarana latihan penelitian karya ilmiah secara profesional dan sarana memperdalam penguasaan materi tentang penambang belerang serta menambah khasanah keilmuan peneliti.
2.      Bagi Lembaga/UNTAG 1945 Banyuwangi, penelitian ini sebagai wujud dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni dharma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dan diharapkan Penelitian ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian intelektual dan solidaritas untuk memberikan kerangka pemikiran bagi sesama mahasiswa khususnya mahasiswa FKIP/Prodi Sejarah dan masyarakat intelektual lainya yang peduli terhadap kemajuan Untag 1945 Banyuwangi.
3.      Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui mengenai kehidupan sosial ekonomi penambang belerang.
4.      Bagi Pemerintah daerah, menjadi bahan masukan bagi pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan penambang belerang. Serta dapat lebih memperkaya perbendaharaan  kepustakaan tentang perkembangan sosial ekonomi penambang belerang Kabupaten Banyuwangi.
            Demikian gambaran singkat mengenai penelitian ini yang dilaksanakan dalam ruang lingkup sejarah sebagai jurusan yang dipilih selama belajar di Perguruan Tinggi.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan tinjauan teori terhadap pendapat para ahli dan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan masyarakat penambang belerang, terutama yang relevan dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat penambang belerang pada umumnya.
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas). (Lemhanas, 1997: 109-110).
Secara umum aktivitas pertambangan melalui sebuah proses yang panjang mulai dari penyelidikan umum hingga proses penutupan kegiatan tambang antara lain melalui kegiatan reklamasi bekas areal tambang. Kegiatan pertambangan sebenarnya telah dilakukan sejak jaman batu lama, saat itu manusia mencari material yang baik untuk berperang dan berburu yakni pertama kali sejak tahun 968 M.
Kegiatan pertambangan dilakukan dengan praktek pertambangan yang baik (Good Mining Practice = GMP) sehingga pengertian pertambangan adalah suatu proses dari pencarian mineral sampai dengan proses akhir yaitu penutupan tambang. Secara lengkap proses tersebut adalah penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan termasuk Amdal, konstruksi, penambangan, pengolahan dan proses metalurgi, pemasaran, penjualan mineral dan penutupan tambang. (Lemhanas, 1997: 109-110).
Kegiatan penambangan khususnya Mangan dan lain-lain dikenal sebagai kegiatan yang dapat merubah permukaan bumi. Karena itu, penambangan sering dikaitkan dengan kerusakan lingkungan. Walaupun pernyataan ini tidak selamanya benar, patut diakui bahwa banyak sekali kegiatan penambangan yang dapat menimbulkan kerusakan di tempat penambangannya.
Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa dilain pihak kualitas lingkungan di tempat penambangan meningkat dengan tajam. Bukan saja menyangkut kualitas hidup manusia yang berada di lingkungan tempat penambangan itu, namun juga alam sekitar menjadi tertata lebih baik, dengan kelengkapan infrastrukturnya. Karena itu kegiatan penambangan dapat menjadi daya tarik, sehingga penduduk banyak yang berpindah mendekati lokasi penambangan tersebut. Sering pula dikatakan bahwa bahwa kegiatan penambangan telah menjadi lokomotif pembangunan di daerah tersebut.
Akan tetapi, tidaklah mudah menepis kesan bahwa penambangan dapat menimbulkan dampat negatif terhadap lingkungan. Terlebih-lebih penambangan yang hanya mementingkan laba, yang tidak menyisihkan dana yang cukup untuk memuliakan lingkungannya.
Hal ini dapat dipahami jika disadari bahwa infestasi telah menelan banyak biaya, yang bila semuanya dihitung dengan harga dana, yaitu bunga pinjaman, maka faktor yang paling mudah dihapuskan adalah faktor lingkungan. Kesadaran manusia untuk meningkatakan kualitas lingkungan dan memperhitungkannya sebagai biaya dalam kegiatan tersebut, atau dikenal sebagai Internasionalisasi biaya eksternal, menyebabkan perhitungan cost-benefit suatu penambangan berubah. Dalam hal ini, faktor harga komoditas mineral sangat penting, tetapi lebih penting lagi pergeseran cut off grade, yaitu pada tingkat mana suatu jebakan mineral dapat disebut ekonomis. Upaya lanjutan adalah penelitian untuk meningkatkan teknologi proses.
Dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan penambangan berskala besar, baik dalam ukuran teknologi maupun investasi, dapat berukuran besar pula. Namun pengendaliannya lebih memungkinkan ketimbang pertambangan yang menggunakan teknologi yang tidak memadai apalagi dananya terbatas. (Lemhanas, 1997: 109-110).
Memang pada kenyataannya, perubahan permukaan bumi yang disebabkan oleh kegiatan penambangan terbuka dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan. Hal ini disebabkan kerena dengan mengambil mineral seperti Mangan tubuh tanah atau soil harus dikupas sehingga hilanglah media untuk tumbuh tumbuhan dan pada akhirnya merusak keanekaragaman hayati yang ada di permukaan tanah yang memerlukan waktu ribuan tahun untuk proses pembentukannya.
Menurut Rizanti (2007: 15) dalam penelitiannya yang berjudul ” Profil Kehidupan Penambangan Belerang Di Sekitar Kawah Ijen (Suatu Studi Di  Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi)” bahwa pekerjaan sebagai penambang belerang merupakan salah satu aset bangsa Indonesia yang berkaitan dengan pemanfaatan kekayaan alam khususnya kawasan pegunungan. Belerang adalah sumber daya alam yang dimanfaatkan, khususnya produksi pemanfaatan potensi alam  yang merupakan salah satu sektor lapangan kerja yang konsekuensinya dapat menciptakan kesempatan  kerja, mengurangi pengangguran dan sumber pendapatan masyarakat pinggiran Gunung  dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Penambang belerang dipekerjakan dengan gaji sebagai pekerja harian dan memiliki sedikit kecerdasan dan pengetahuan dalam hal mengelola belerang. Penambang belerang sebagai kelompok sosial dalam masyarakat sama sekali tidak terikat pada desanya.
Menurut Basri (1998: 49-58) dalam penlitiannya yang berjudul “Faktor-faktor Yang mempengaruhi Angkatan Kerja Menjadi Buruh Penambang Belerang (Suatu Studi Di Gunung Ijen kabupaten Banyuwangi)” bahwa karena adanya faktor-faktor yang menyebabkan para angkatan kerja nemilih bekerja sebagai buruh tambang belerang meliputi faktor  pendapatan, pendidikan, ketrampilan, kesempatan kerja dan lingkungan sosialnya. Faktor-faktor inilah yang memberikan dorongan atau pengaruh pada diri masyarakat untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki yaitu menjadi buruh tambang belerang dengan tidak terlepas dari kesadaran akan kondisi sosial masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Menurut Basri (1998: 59) yang mengatakan bahwa munculnya keinginan sebagai buruh tambang belerang sedikit banyak tidak terlepas dari hasil interaksi dari orang sekitarnya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya seseorang mengetahui ada lowongan pekerjaan karena adanya sumber informasi dari saudara, teman dan tetangga yang sebelumnya sudah bekerja sebagai penambang belerang.
Menurut Susilowati ( 1996: 132) bahwa penambang  belerang semakin muda umurnya maka motivasi terhadap pendidikan anak-anaknya semakin tinggi, hal ini menunjukkan bahwa kesadaran penambang belerang akan pendidikan sudah semakin meningkat.
Sebagain besar penduduk miskin  berada di daerah pedesaan pulau Jawa dan mereka pada umumnya berpenghidupan pada sektor pertanian, oleh karena itu salah satu alternatif dalam menciptakan pemerataan pendapatan masyarakat adalah mengarahkan perubahan dalam hal ini perubahan-perubahan  di sektor pedesaan (pertanian). Ada dua macam perubahan mengarahkan perubahan yang dimaksud, yang satu mencoba mengarahkan dengan mengintrodusir perubahan tertentu yang lebih ditekankan pada pembangunan materiil (ekonomi) dan yang lainya pada pembangunan non materiil (sosial) termasuk didalamnya pembangunan manusianya (Sarwedi, 1990: 7). Kehidupan para penambang belerang menggunakan segala upaya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya dengan cara mencari belerang untuk mencapai kesejahteraan. Bentuk-bentuk upaya dan beberapa tanggungan harus dijalani sebagai kepala rumah tangga. Disamping itu, makin banyaknya kebutuhan dan makin mahalnya barang-barang kebutuhan yang harus dicukupi membuat para penambang menyakini dan terus bekerja sebagai penambang belerang di Gunung Ijen.
Pada umumnya masyarakat membedakan menjadi tiga kriteria  penadapatan yaitu pendapatan tinggi, pendapatan sedang dan pendapatan rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Usman (1982: 17) bahwa pendapatan masyarakat terbagi menjadi: (a) Golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Golongan ini menerima pendapatan (income) lebih rendah dari keperluan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. (b) Golongan masyarakat berpenghasilan sedang. Pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok, tidak ada tabungan dan tidak ada pinjaman kepada pihak lain. (c) Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Pendapatan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup secara normal dan dapat menabung.
Kenyataannya petani dan buruh tambang belerang di kawasan Ijen tidak banyak pertimbangan di dalam hidupnya, kurang kreatif dan tidak punya tradisi untuk berpikir banyak tentang kehidupan serta tidak mempunyai pengaruh pada kemampuan untuk mencoba mencari alternatif pekerjaan yang lain disampng sebagai penambang belerang. Kondisi seperti diatas biasanya terdapat pada masyarakat penambang belerang tradisional. Karena dalam masyarakat penambang belerang tradisional pola penjualan belerang  tergantung tempat dimana pekerja itu bekerja. Hal ini terjadi dikarenakan tuntutan kebutuhan yang harus mereka penuhi dengan uang hasil pencarian belerang itu. Penyebab lain adalah secara geografis letak desa mereka jauh dari tempat kerja dan karena beban keluarga yang besar.
Selain tingkat pendapatan penambang belerang, gambaran kehidupan yang lain dapat dilihat melalui kondisi sosial ekonomi masyarakat penambang belerang adalah pengeluaran untuk pangan (konsumsi) dan non pangan. Para penambang belerang sendiri memiliki kebutuhan-kebutuhan secara pribadi untuk dicukupi. Adapun kebutuhan itu sendiri menurut Sumarnonugroho (1984: 6) membagi kebutuhan dasar manusia menjadi lima bagian yaitu: (1)  kebutuhan untuk hidup, (2) Kebutuhan merasa aman, (3) Kebutuhan untuk bertingkah laku sosial, (4) kebutuhan untuk dihargai, (5) kebutuhan untuk melakukan pekerjaan yang disenangi.
Kebutuhan-kebutuhan diatas  melekat pada diri penambang belerang, kebutuhan tersebut belum lagi pada kebutuhan keluarganya yang semakin banyak. Tetapi kebutuhan tersebut tidak diimbangi dengan pendapatan yang diperolehnya sangat minim sebagai penambang belerang, maka tidak jarang mereka dan keluarganya juga sering kekurangan uang untuk membeli kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya. Kebutuhan pokok yakni sandang, pangan dan papan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup. Begitu juga para penambang belerang yang ada di kawasan Kawah Ijen bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka dan keluarganya. Kondisi kehidupan sosial ekonomi mereka yang ada dalam masyarakat tentu dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang sedang mereka alami.
Berkurangnya volume produksi mempunyai dampak negatif terhadap jumlah persediaan barang dan jasa dipasar kesempatan kerja serta jumlah orang yang bekerja, jumlah pengangguran meningkat, baik karena diberhentikan (PHK) maupun tenaga kerja baru yang mencari kerja tetapi tidak mendapat pekerjaan. Akibat selanjutnya jumlah orang miskin bertambah secara drastis, terutama apabila mereka yang diberhentikan atau yang mendapat pekerjaan tidak dapat melakukan sendiri kegiatan-kagiatan ekonomi yang memberikan penghasilan lumayan.
Menurut As’ad (1991: 47) dalam bukunya yang berjudul Psikologi Industri mengatakan bahwa seseorang itu bekerja karena merupakan kondisi bawaan seperti bermain atau istirahat, untuk aktif mengerjakan sesuatu. Seorang didorong untuk beraktifitas kerja pada sekelompok orang, yakni dimulai ketika mereka mulai masuk kerja, saat mereka bekerja, sampai pada saat mereka pulang kerja. Pada saat itu pula mereka dalam aktifitas kerjanya saling berhubungan, baik dengan sesama penambang maupun dengan juragan. Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa hidup sendiri. Manusia memerlukan oarng lain untuk bekerja sama dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kehidupan penambang belerang tidak jauh dengan lingkungan sekitar dimana hubungan terjadi sebagai mahluk sosial yakni hubungan dengan sesama penambang, hubungan dengan pembeli atau penadah dan hubungan dengan tetangga atau masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Maclever. J.L. Gillin dan J.P. Gillin ( dalam Soelaiman, 1995: 122) bahwa adanya saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinue dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Mereka yang hidup dalam sistem, baik sistem di masyarakat dan sistem yang ada di lingkungan kerja mereka tentunya terdapat nilai-nilai dan norma yang ditaati bersama. Hubungan-hubungan yang diciptakan dan terus dipertahankan adalah untuk tujuan bersama. Adapun hubungan-hubungan yang dibangun menurut Soelaiman (1995: 124) adalah 1) Hubungan individu dengan individu; 2) Hubungan individu dengan keluarga; 3) Hubungan individu dengan lembaga; 4) Hubungan individu dengan komunitas; 5) Hubungan individu dengan masyarakat; 6) Hubungan individu dengan nation.
Lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat merupakan lingkungan yang setiap saat dikecimpungi oleh penambang belerang. Adapun hubungan pada lingkungan kerja mereka adalah hubungan diri mereka dengan komunitas yakni para penambang belerang lainnya. Teman dan sahabat sesama penambang belerang adalah tempat untuk mencurahkan segala perasaan dan keluh kesah mereka sebagai pekerja dan tulang punggung keluarga.
Hubungan yang terjadi pada penambang belerang adalah hubungan dengan masyarakat, dimana masyarakat ini terdiri dari komponen individu yang terkumpul dan menjadi bentuk kumpulan yang lebih besar dari komunitas. Adapun aspek teritorium kurang ditekankan tetapi aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif memperoleh tataran yang lebih besar. Kedua aspek ini menunjukkan derajat integrasi masyarakat karena keteraturan esensial dan hidup kolektif ditentukan oleh kemantapan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari pranata status dan peranan individu.     
Masyarakat pada hakikatnya terdiri dari sekian banyak komunitas yang berbeda sekaligus mencakup keluarga, lembaga dan individu-individu. Lingkungan masyarakat penambang belerang merupakan lingkungan pedesaan, maka tidak salah nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku sangat dijaga oleh masyarakat setempat. Kehidupan penambang belerang yang mengalami kesulitan, kesatuan dan rasa saling menolong masih kental serta pinjam meminjam pada tetangga adalah hal yang biasa. Status mereka sebagai penambang belerang dikalangan masyarakat yang masuk strata sedang, hal ini dapat dilihat dari letak wilayah mereka yang dekat dengan Kawah Ijen. Sehingga banyak masyarakat mata pencariannya tergantung pada alam yakni belerang. Biarpun mereka masuk dalam strata kelas sedang, tetapi mereka dalam perolehan pendapatan tingkat ekonomi masih rendah (Rizanti, 2007: 21).
Kondisi penambang belerang semakin memprihatinkan ketika ekonomi mereka semakin sulit dikarenakan semakin mahalnya barang-barang kebutuhan pokok yang harus dibeli semakin mahal. Sehingga masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk penambang belerang akan semakin terpuruk kondisinya. Kenaikan harga kebutuhan hidup dikhawatirkan berdampak kepada kehidupan para penambang belerang khususnya kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan jika tidak dirumuskan kebijakan yang memihak rakyat kecil maka akan memunculkan dampak sosial yang sangat besar di masyarakat seperti peningkatan jumlah kemiskinan, meningkatnya jumlah pengangguran dan masalah-masalah sosial lainnya.
Pengembangan sektor pertambangan yang dilaksanakan selama ini diarahkan pada pemanfaatan sebesar-besarnya kekayaan tambang bagi pembangunan industri dalam negeri, peningkatan ekspor dan penerimaan negara serta perluasan kesempatan kerja dan berusaha. Dalam upaya melaksanakan penganekaragaman hasil tambang dan pengelolaan usaha pertambangan secra efisien telah dilakukan peningkatan dan perluasan upaya inventarisasi serta pemetaan, eksplorasi dan eksploitasi kekayaan tambang dengan memanfaatkan teknologi tepat guna. Untuk mendorong dan meningkatkan penanaman modal dibidang pertambangan dilakukan dengan menawarkan beberapa tahap kontrak karya sedangkan dibidang minyak dan gas bumi ditertibkan berbagai paket intensif. Namun, usaha pertambangan rakyat tetap dibina dan dikembangkan dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja (Lemhanas, 1997: 109-110).
Keberadaan perusahaan tambang di Indonesia kini banyak dipersoalkan oleh berbagai kalangan, dikarenakan telah menimbulkan dampak negatif dalam pengusahaan bahan galian (tambang). Dampak negatif dari keberadaan perusahaan tambang adalah meliputi:
1.       Rusaknya hutan yang berada di daerah lingkar tambang.
2.       tercemarnya laut.
3.       Terjangkitnya penyakit bagi  masyarakat yang bermukim di daerah lingkar tambang.
4.       terjadinya konflik antara masyarakat lingkar tambang dengan perusahaan tambang.
Walaupun keberadaan perusahaan tambang menimbulkan dampak negatif, namun keberadaan perusahaan tambang juga menimbulkan dampak positif dalam pembangunan nasional. Dampak positif dari keberadaan perusahaan tambang adalah:
1.      Meningkatnya devisa negara.
2.      Meningkatnya pendapatan asli daerah.
3.      Menampung tenaga kerja, baik tenaga kerja lokal, regional, nasional maupun internasioanal.
4.      Meningkatnya kondisi sosial ekonomi, kesehatan dan budaya masyarakat yang bermukim di daerah lingkar tambang(Salim, 2005:5-6).
Berbeda dengan kondisi penambang belerang di Gunung Ijen, dimana keadaannya semakin memperihatinkan ketika terjadi krisis ekonomi dan kenaikan BBM dikarenakan barang-barang kebutuhan pokok yang harus dibeli semakin mahal, sehingga masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk penambang belerang akan semakin terpuruk kondisinya. Kenaikan harga kebutuhan hidup dikhawatirkan berdampak kepada kehidupan para penambang belerang khususnya kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan jika tidak  berdampak kepada kehidupan para penambang belerang khususnya kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan jika tidak dirumuskan kebijakan yang memihak rakyat kecil maka akan memunculkan dampak sosial yang sangat besar di masyarakat seperti peningkatan jumlah kemiskinan, meningkatnya jumlah pengangguran dan masalah-masalah sosial lainnya.
Uraian mengenai kehidupan para penambang belerang berdasarkan sumber-sumber diatas secara umum hanya menguraikan tentang aktivitas penambang belerang seperti tingkat pendapatan, pengeluaran, kesejahteraan penambang belerang dan pola kemitraan serta sedikit menjelaskan kondisi sosial ekonomi penambang belerang. Sumber-sumber diatas belum mengungkapkan secara mendetail tentang sejarah penambang belerang di Gunung Ijen dan bagaiamana  aktivitas penambangan belerang tersebut berpengaruh terhadap dinamika sosial ekomomi masyarakat jika ditinjau melalui tinjauan studi historis.



BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Pengertian Metode Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian, metode merupakan salah satu syarat yang tidak dapat ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena metode merupakan dasar pokok dalam kegiatan penelitian, sehingga dengan adanya metode maka penulis dapat memperoleh data, menentukan responden dan informan penelitian, serta untuk menginterpretasikan data. Pendekatan dalam penelitian sosial sejarah merupakan masalah yang penting, karena penggambaran mengenai suatu tulisan sangat tergantung dari pendekatannya. Pendekatan juga menentukan dari segi mana penulis memandang dimensi yang diperhatikan dan unsur mana yang diungkapkan (Sartono Kartadirjo, 1992 :4)
            Winarno Surakhmad menjelaskan bahwa “Metode adalah suatu cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan. Misalnya cara untuk menguji serangkaian hipotesa dengan teknik serta alat-alat tertentu”. Menurut Purwodarminto “Metode adalah cara yang telah teratur dan telah terfikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan”. Jadi intinya metode merupakan teknik untuk mencapai tujuan dan memahami obyek penelitian.
            Mengenai fungsi metode penelitian itu sendiri, Koentjoroningrat mengemukakan bahwa “Cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah maka metode menyangkut masalah kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan”. Jadi intinya fungsi metode adalah sebagai alat untuk memahami obyek yang akan diteliti untuk mendapatkan data, fakta dan gejala-gejala untuk menguji hipotesis atau menjawab rumusan masalah.

3.2. Pendekatan Penelitian
            Pendekatan dalam penelitian sejarah merupakan masalah yang penting, karena penggambaran mengenai suatu tulisan sangat tergantung dari pendekatannya. Pendekatan juga menentukan dari segi mana penulis memandang dimensi yang diperhatikan dan unsur mana yang diungkapkan (Sartono Kartadirjo, 1992 :4).
            Dalam penelitian sejarah modern pendekatan sangat diperlukan, hal ini berbeda dengan penelitian sejarah konvensional  yang mengarah pada sejarah diskriptif naratif. Di dalam sejarah modern diungkapkan bukan hanya sekedar hal-hal yang bersifat dasar, tetapi lebih dalam kajiannya tentang aspek kondisional yang meliputi hal-hal lain yang lebih kompleks.
            Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosio antropologi. Penulis mengamati perkembangan penambangan belerang ditinjau dari aspek dimensi social ekonomi penembang belerang, stratifikasi sosial penambangan belerang dan pola hubungan antara komunitas penambangan belerang dengan masyarakat. Selain itu penulis juga mengamati nilai-nilai yang terkandung dalam penambangan belerang.

3.3. Metode Penelitian Sejarah
            Proses penelitian memerlukan suatu metode agar hasil yang didapat sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan dalam tata cara penulisan karya ilmiah. Dalam hal ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah sebagai proses mengkaji dan menganalisis masa lampau. Langkah penelitian sejarah adalah sebagai berikut : (1) heuristik, (2) kritik, (3) interpretasi, (4) historiografi.

1.   Heuristik
Proses heuristik adalah langkah pertama dalam penelitian sejarah yaitu langkah yang dilakukan penulis agar dalam penelitian penulis mendapatkan data atau fakta-fakta yang berhubungan dengan penelitian sebanyak-banyaknya. Kegiatan heuristik yang dilakukan penulis adalah mencari sunber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang ditulis. Adapun sumber-sumber yang penulis kumpulkan berupa buku-buku, artikel di majalah dan surat kabar, dan laporan penelitian, serta wawancara dengan para penambang belerang gunung Ijen dan pimpinan perusahaan penambangan belerang serta kepala desa setempat.
2.   Kritik
Langkah kedua adalah kritik terhadap sumber. Kritik ini dilakukan guna mendapatkan sumber sejarah yang layak untuk digunakan. Kritik dilakukan untuk menilai, menguji, atau menyeleksi jejak sebagai usaha untuk memperoleh jejak-jejak yang benar, dalam arti asli serta mengandung informasi yang relevan untuk cerita-cerita sejarah yang akan disusun. Dalam hal ini, penulis berhasil mengumpulkan berbagai data yang kemudian penulis catat dan dipilih mana yang sesuai dengan penelitian dan mana yang tidak.

3.   Interpretasi
Langkah ketiga dalam penelitian sejarah adalah interpretasi. Interpretasi  merupakan proses mengkaji, menghubungkan, dan membandingkan fakta-fakta sejarah, sehingga menjadi hubungan yang rasional dan logis, kemudian mengambil kesimpulan data guna digunakan dalam proses penelitian. Dalam hal ini penulis mencoba menghubungkan data yang diperoleh dari kajian pustaka dengan data yang diperoleh dari metode wawancara.

4.   Historiografi
Kegiatan akhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi. Historiografi adalah penyusunan hasil interpretasi fakta-fakta sejarah yang disusun secara analogis, kronologis dan sistematis menjadi kisah yang selaras. Proses historiografi yang dilakukan penulis adalah menyajikan fakta-fakta yang telah melalui tahap heuristik, kritik, dan interpretasi menjadi tulisan karya ilmiah yang berwujud skripsi.

3.4. Metode Pengumpulan Data
            Sesuai dengan masalah penelitian yang telah kami tetapkan dan dengan melihat situasi dilapangan maka perlu ditentukan metode pengumpulan data yang dianggap sesuai dan relevan dengan obyek penelitian. Adapun metode penelitian yang kami gunakan dalam penelitian kami adalah :

3.4.1. Metode Wawancara
            Metode wawancara adalah metode pengumpulan data yang dijalankan dengan menggunakan tanya jawab langsung dengan lisan antara dua orang atau lebih. Adapun tujuan metode tanya jawab adalah agar peneliti memperoleh informasi lisan baik langsung maupun tidak langsung. Metode wawancara pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu interview langsung dimana penanya langsung berhadapan dengan informan dan interview tidak langsung yaitu dimana penanya mencari data-data dari hasil interview yang telah dilakukan sebelumnya.
            Dalam metode wawancara terdapat kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihan  metode interview antara lain :
a.       Dapat dilaksanakan kepada setiap individu atau setiap unsur
b.      Dapat diadakan serempak sambil observasi
c.       Kemungkinan masuknya data lebih banyak dan tepat
d.      Dapat menumbuhkan hubungan pribadi yang lebih baik
e.       Interview dapat memberikan penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kurang jelas
Sedangkan kelemahan dari metode interview adalah :
a.       Terlalu banyak memakan waktu, biaya dan tenaga
b.      Sangat tergantung pada individu yang diwawancarai. Tidak jarang hasil wawancara terkontaminasi dengan kepentingan kelompok tertentu.
c.       Situasi wawancara mudah terpengaruh situasi dan lingkungan
d.      Membutuhkan keterampilan dan penguasaan bahan.
            Mengingat akan kelemahan-kelemahan dari metode interview maka perlu adanya usaha-usaha untuk mengatasi kelemahan metode interview yaitu
a.       Kerangka pertanyaan harus direncanakan secara sistematis.
b.      Harus ada tenggang waktu yang telah ditentukan
c.       Interviewer harus memiliki keterampilan agar tidak terbawa informan
            Wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara langsung kepada berbagai sumber yang berkaitan langsung dengan perkembangan penambangan belerang.

3.4.2. Metode Dokumenter
            Menurut pendapat Suharsini Arikunto “Dokumentasi adalah mencari data atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, prasasti, notulen rapat, leger dan sebagainya”. Namun dokumentasi juga dapat diartikan untuk mencari data untuk didokumentasikan.
            Sutrisno hadi mengemukakan mengenai kelebihan dan kekurangan metode dokumenter yaitu :
Kelebihan metode dokumenter adalah ;
1.      Metode dokumenter relevan dengan kebutuhan peneliti untuk meraih data
2.      Lebih dapat dipertanggung jawabkan, karena apabila ada kekeliruan data maka sumber datanya masih tetap ada dan mudah dalam melakukan pengecekan kembali
3.      Metode ini tidak memerlukan keterampilan khusus dari peneliti
Dalam penelitian kami, metode dokumenter kami gunakan untuk mendapatkan data mengenai :
1.      Asal-usul/sejarah penambangan belerang
2.      Keunikan penambangan belerang di gunung Ijen dibanding penambangan belerang lainnya.
3.      Perkembangan/dinamika sosial ekonomi penambangan belerang
4.      Dampak penambangan belerang di gunung Ijen
            Dokumen yang penulis jadikan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah berbagai dokumen yang menyangkut penambangan belerang  seperti buku-buku tentang penambangan belerang, hasil penelitian, surat kabar, artikel-artikel di sejumlah majalah dan artikel dari internet.

3.4.3. Metode Observasi
            Observasi adalah kegiatan untuk meninjau tempat terjadinya peristiwa yang akan dijadikan obyek penelitian. Observasi dilakukan untuk melihat lebih awal lokasi obyek penelitian guna mengatasi segala kemungkinan dan mempersiapkan apa yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian nanti. Observasi kami lakukan dengan melihat aktivitas penambangan secara langsung dan melihat bagaimana penambangan belerang di gunung Ijen.

3.5. Metode Analisis Sejarah
            Suatu penelitian belum dikatakan lengkap apabila tidak disertai dengan analisa data, karena dengan menganalisa data berarti mengolah data dengan menimbang, menyaring, mengatur  serta mengklasifikasikan data tersebut dan menghubungkan dengan data-data yang lain. Menimbang dan menyaring data adalah cara yang dilakukan dalam memilih data yang relevan dan tepat serta berkaitan dengan masalah yang telah dirumuskan. Sedangkan mengatur dan mengklasifikasikan data adalah menggolong-golongkan data yang sama atau hampir sama untuk dikategorikan dan selanjutnya diinterpretasikan yang pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang merupakan tujuan akhir dari analisa data.
            Dalam menganalisa data dapat digunakan dua cara yaitu analisa statistik dan non statistik. Penelitian kami menggunakan analisa data non statistik dikarenakan masalah yang kami rumuskan dan data yang kami peroleh merupakan data kualitatif yang berupa cerita-cerita sejarah.












BAB  IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Gambaran Umum Desa Tamansari
Wilayah yang dijadikan sasaran penelitian ini adalah Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi. Sejak tahun 2006 Desa Tamansari termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Licin karena adanya pemekaran dari Kecamatan Glagah, sehingga wilayah licin yang awalnya bagian administratif dari wilayah Kecamatan Glagah, berdiri sendiri menjadi Kecamatan Licin. Desa Tamansari  secara administratif terbagi menjadi tujuh dusun yaitu: Dusun Ampel Gading, Dusun Blimbingsari, Dusun Kebon Dadap, Dusun jambu, Dusun Tanahlos, Dusun Sumberwatu dan Dusun Krajan. Jumlah Rukun Warga (RW) sebanyak 14 RW, sedangkan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 51 RT. Jarak tempuh dapat dilalui kurang lebih sejauh 13 km arah barat Kota Banyuwangi. Sedangkan jarak dari Kecamatan Licin sejauh kurang lebih 1 (satu) km. Desa Tamansari berada pada ketinggian 650 m dari permukaan laut, sehingga pada tempat terbuka, kota Banyuwangi dengan batas Selat Bali di sebelah timur dapat terlihat dengan jelas. Luas wilayah Desa Tamansari yaitu 2767,12 Ha dengan rincian dapat dilihat pada tabel berikut:







Tabel 4.1
Luas Wilayah Desa Tamansari
No
Luas Wilayah
Keterangan
1
Sawah
128 Ha
2
Lahan kering (Ladang/tegalan)
586,265 Ha
3
Pemukiman penduduk
17,630 Ha
4
Perkebunan
1951,50 Ha
5
Bangunan sekolah, Pasar dan Toko
31,921 Ha
6
Wisata pegunungan
5,5 Ha
7
Lain-lain
46 Ha
Sumber: Data Monografi Desa Tamansari tahun 2009.
            Batas-batas wilayah Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi adalah sebagai berikut:
  1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kampung Anyar.
  2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Banjar.
  3. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso.
  4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Licin.
Sarana jalan yang menghubungkan antara Desa Tamansari dengan Desa yang lain berupa jalan aspal, hal ini dipengaruhi oleh pembangunan jalan wisata alam yaitu Kawah Ijen dan Kalibendo yang melintasi desa tersebut. Jalan yang menghubungkan antar dusun yang berada di Desa Olehsari berupa jalan aspal dan ada sebagian Dusun yang berupa jalan tanah biasa, sedangkan gang-gang kecil berupa jalan setapak. Sarana transportasi yang digunakan masyarakat setempat berupa angkutan pedesaan, ojek, truk, pick up dan kendaraan bermotor pribadi.
Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari antar sesama masyarakat Desa Tamansari adalah bahasa Using yang dikenal sebagai bahasa daerah Banyuwangi. Hal tersebut digunakan sesama komunitas masyarakat Using. Selain itu mereka juga menggunakan bahasa Jawa, dan bahasa  Madura dalam berdialog. Demikian  juga halnya dalam bahasa pengantar di sekolah atau pendidikan formal lainnya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
Untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat Desa Tamansari terlebih dahulu akan diuraikan mengenai komposisi penduduknya. Penjelasan yang berkaitan dengan komposisi penduduk dipandang penting sebagai sarana untuk memetakan data penduduk menurut umur, mata pencaharian atau pekerjaan, tingkat pendidikan dan lainnya yang akan berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat suatu daerah. Maka, akan diuraikan dalam penjelasan dibawah ini.
4.1.1        Jumlah dan Komposisi Penduduk
Pengklasifikasian populasi penduduk setiap daerah berbeda-beda grafiknya, hal ini ditunjukkan seperti yang terdapat di Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan data Monografi Desa Tamansari tahun 2009, jumlah penduduk Desa Tamnsari secara keseluruhan sebesar 4.277 jiwa. Dengan komposisi: jumlah penduduk perempuan 2.327 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.950 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk Desa Tamansari Berdasarkan Jenis Kelamin
No
Jenis Kelamin
Jumlah
Prosentase
1
Laki-laki
1.950
45,6
2
Perempuan
2.327
54,4

Jumlah
4.277
100
Sumber: Data Monografi Desa Tamansari tahun 2009.
Berdasarkan tabel tersebut di atas menunjukkan komposisi jumlah penduduk Desa Tamansari yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 1.950 orang dengan prosentase sebesar 45,6% sedangkan jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempaun berjumlah 2.327 dengan prosentase sebesar 54,4%. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah penduduk Desa Tamansari yang berjenis kelamin perempuan lebih besar dari jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagain besar jumlah penduduk Desa Tamansari berjenis kelamin perempuan.
Selain itu komposisi penduduk desa Tamansari juga diklasifikasikan menurut kelompok umur. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci tentang keadaan penduduk Desa Tamansari berdasarkan kelompok umur, maka dapat dilihat seperti yang terdapat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 4.3
 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur
No
Umur (thn)
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
1
0-4
399
397
797
2
5-20
753
961
1714
3
21-45
630
774
1404
4
46-65
125
141
266
5
<66
43
54
97
Jumlah
1950
2327
4277
Sumber: Data Monografi Desa Tamansari tahun 2009.
            Berdasarkan tabel 4.3, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk usia produktif ternyata lebih sedikit dari jumlah penduduk di usia non produktif. Jumlah penduduk usia produktif sekitar 1.670 orang yang terdiri dari 1.404 orang, berusia antara 21 tahun sampai dengan 45 tahun dan 266 orang yang berusia antara 46 tahun sampai dengan 65 tahun. Sedangkan jumlah pendudk non produktif berjumlah 2607 orang yang terdiri dari usia anak-anak yang berjumlah 796 orang, usia remaja sekitar 1714 orang dan usia lansia sekitar 97 orang.
            Penduduk Desa Tamansari sedikit memiliki kesadaran akan arti penting keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Tetapi, dalam diri penduduk Desa Tamansari sekarang mulai tumbuh suatu kesadaran tentang pentingnya keluarga kecil bahagia. Hal ini terbukti dengan semakin  merosotnya jumlah kelahiran karena banyak ibu-ibu yang sudah memakai alat-alat kontrasepsi, ikut berprogram KB (keluarga berencana) dan penundaan menikah di usia muda.
            Masyarakat Desa Tamansari Kecamatan Licin mempunyai semangat gotong royong yang sangat tinggi. Kegiatan gotong royong yang dilakukan meliputi segala hal. Masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum seperti perbaikan jalan, pemugaran rumah warga, memperbaiki jembatan, memperbaikai pemakaman dan kerja bakti masih ada dalam masyarakat Desa Tamansari. Apabila ada salah satu yang meninggal, para warga berbondong-bondong saling membantu. Hal itu sudah merupakan salah satu kewajiban. Para ibu-ibu membawa beras atau sumbangan berupa uang, dan sebagainya. Jika tidak ada, maka tetap mengusahakannya dengan cara berhutang kepada tetangga. Sedangkan para bapak-bapak membantu dalam hal proses pemakaman.
Kebutuhan orang meninggal tersebut seperti kain kafan sudah disiapkan oleh penduduk Desa Tamansari dari swadaya masyarakat melalui jama’ah tahlil. Pemberian sumbangan juga diberikan pada waktu pengajian rutin, yaitu berupa iuran kas sebesar Rp. 1000,- untuk membeli kain kafan yang digunakan bagi warga Desa Tamansari yang meninggal dunia. Apabila ada yang meninggal pada malam hari maka sebagian masyarakat datang untuk menjaga  sampai pagi hari menjelang proses pemakaman. Pelaksanaan pengajian atau tahlil dilakukan selama tujuh hari berturut-turut untuk mendoakan arwah yang meninggal. Apabila ada salah satu warga jarang membantu maka terdapat sangsi sosial yaitu berupa gunjingan dari masyarakat setempat. Hal itu merupakan norma yang berlaku pada masyarakat.
            Kegiatan memberikan bantuan kepada warga atau tetangga yang mempunyai hajat masih berlaku hingga saat ini. Hajatan yang merupakan kegiatan sumbang menyumbang tersebut seperti perkawian, khitanan, kelahiran dan kematian. Kegiatan datang untuk bertamu pada orang yang mempunyai hajat tersebut disebut mbecek. Kegiatan sumbang menyumbang ini mengakar sangat kuat pada masyarakat dan merupakan kegiatan timbal balik. Maksudnya apabila seseorang disumbang dalam hajatnya, maka ia harus menyumbang dengan jumlah sebesar sumbangan terdahulu atau bahkan ada yang melebihinya. Bila ada warga masyarakat Desa Tamansari tidak pernah memberikan sumbangan, biasanya akan digunjingkan oleh masyarakat dan jika ia mempunyai hajatan, maka tidak ada yang memberikan sumbangan kepadanya.
            Penduduk Desa Tamansari banyak yang mempunyai media elektronik seperti radio dan televisi sebagai media informasi dan sarana hiburan warga. Kedua sarana tersebut secara tidak langsung akan memberikan kontribusi terhadap perkembangan masyarakat Desa Tamansari, yaitu penduduk setempat tidak terlalu ketinggalan mengenai informasi dan komunikasi dunia luar, sehingga sarana informasi cepat diakses dalam kehidupan mereka sehari-hari.
4.1.2        Mata Pencaharian Penduduk
Area tanah Desa Tamansari seluas 2676,12 Ha sudah barang tentu mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Tamnsari adalah sebagai petani. Pada umumnya tanaman yang ditanam adalah padi, jagung, kacang tanah, kacang panjang, ubi kayu, buncis ketela dan cabe. Jumlah pekerja sebagai petani tersebut terdiri dari petani pemilik lahan atau tanah berjumlah 157 orang petani penggarap atau buruh tani sebesar 230 orang, sedangkan jumlah keseluruhannya sebesar 387 orang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah petani pemilik lahan atau tanah lebih kecil dari pada penggarap atau buruh tani. Sebagian besar petani, menghabiskan waktunya di ladang atau sawah.
Para petani baik laki-laki ataupun perempuan beriring-iringan bergegas berangkat ke sawah. Setiap pagi, pemandangan seperti itu merupakan suatu hal yang biasa di Desa Tamansari. Mereka akan kembali ke rumah masing-masing pada tengah hari untuk sholat dzuhur dan makan siang bersama keluarga. Bahkan ada juga yang kembali lagi ke ladangnya masing-masing, sampai menjelang sore hari. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan kebutuhan mereka. Sedangkan yang tidak kembali ke ladang, biasanya mereka menggunakan waktunya untuk istirahat atau tidur. Oleh karena itu jika pada waktu siang hari suasana Desa Tamansari terlihat sepi, merupakan hal yang wajar.
Mata pencaharian yang lain dari penduduk Desa Tamansari adalah sektor penambangan  belerang dan perdagangan. Selain itu, penduduk Desa Tamansari juga memiliki mata pencaharian lain yang cukup variatif seperti buruh harian, pegawai negeri, pegawai swasta, jasa komunikasi dan angkutan dan tukang.
Untuk lebih jelas mengenai rincian mata pencaharian penduduk yang ada di Desa Tamansari dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.4
 Mata Pencaharian Penduduk Desa Tamansari
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah
1
Petani pemilik
157 orang
2
Buruh tani
230 orang
3
Pedagang
54 orang
4
Penambang belerang
200 orang
5
PNS
39 orang
6
Jasa komunukasi dan angkutan
44 orang
7
Tukang
63 orang
8
Buruh harian
415 orang
9
Pegawai swasta
55 orang
10
Lain-lain
3020 orang
Total
4.277 orang
Sumber: Data Monografi Desa Tamansari tahun 2009.
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah terbanyak dari  mata pencaharian penduduk Desa Tamansari adalah lain-lain. Setelah dikonfirmasi ke pihak desa setempat maksud dari yang lain-lain di sini yaitu terdiri dari pemuda yang belum bekerja (masih sekolah dan pengangguran), ibu rumah tangga, aparatur desa, anggota LSM, pengurus partai, ormas-ormas dan orang-orang yang bekerja keluar daerah. Mata pencaharian penduduk di posisi kedua yaitu sebagai buruh harian dengan jumlah 415 orang, terbagi dari beberapa sektor, yaitu industri makro( pabrik dan perkebunan), industri mikro (home industry), dan penjahit baju. Sedangkan petani berada di posisi ketiga, dengan total jumlah 372 orang, yang terdiri dari petani pemilik sebesar 157 orang dan buruh tani dengan jumlah 230. Profesi sebagai jasa komunikasi dan angkutan berada di posisi kedua dari bawah, dengan jumlah 44 orang. Hal ini dipengaruhi oleh minat penduduk yang kurang, selain itu karena membutuhkan modal yang cukup besar. Pekerjaan sebagai PNS menempati posisi terkecil dengan jumlah 39, dikarenakan profesi sebagai PNS harus mencapai jenjang S-1 atau sarjana dan membutuhkan biaya yang tinggi. Sedangkan penduduk Desa Tamansari kebanyakan merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah.
4.1.3        Tingkat Pendidikan Penduduk
Pendidikan merupakan salah satu usaha yang ditempuh pemerintah untuk mencerdaskan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan yang pernah ditempuh atau yang telah diselesaikan seseorang melalui pendidikan formal. Dengan adanya pendidikan yang diperoleh diharapkan masyarakat dapat berpikir kritis, inovatif dan mempunyai wawasan yang luas dalam mengikuti perkembangan jaman serta dapat bersaing dalam arus globalisasi. Selain itu dengan pendidikan diharapkan masyarakat dapat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap sesuatu yang dinilai baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, serta boleh tau tidak boleh yang berkaitan dengan nalai-nilai dan norma-norma yang dianut masyarakat setempat. Di samping itu, pendidikan dapat meningkatkan prestise atas status sosial bagi orang yang menyelesaikan pendidikan formal. Bahkan apabila orang tersebut menyandang gelar sarjana maka kedudukan seseorang tersebut dinilai lebih tinggi dan dihormati oleh masyarakat.
Tingkat pendidikan di suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi dan budaya. Berbagai usaha sudah banyak dilakukan pemerintah dalam menghadapi kesuliatan ekonomi masyarakat, yang kaitannya dengan kemauan bersekolah. Kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan misalnya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Hal tersebut bertujuan untuk menuntaskan WAJAR (Wajib Belajar) sembilan tahun meliputi pendidikan SD sampai SMP, selain itu pemerintah membuat program dalam memberantas buta aksara dengan metode Keaksaran Fungsional. Untuk mengetahui tingkat pendidikan di Desa Tamansari secara terperinci dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 4.5
 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Tamansari
No
Jenjang Pendidikan
Jumlah
1
Belum tamat SD/Sederajat
574 orang
2
Tamat SD/ Sederajat
1218 orang
3
Tamat SMP/ Sederajat
556 orang
4
Tamat SMA/ Sederajat
203 orang
5
Tamat Akademi
18 orang
6
Tidak sekolah
432 orang

TOTAL
4277 orang
Sumber: Data Monografi Desa Tamansari tahun 2009.
            Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa pendidikan penduduk Desa Tamansari yang terbanyak adalah tamatan SD/sederajat yang berjumlah 1218 orang dari keseluruhan jumlah penduduk. Jumlah terbanyak kedua yaitu penduduk yang tidak tamat SD/sederajat dengan jumlah 574 orang. Sedangkan peringkat ketiga ditempati oleh penduduk yang tamat SMP/sederajat dengan jmlah 556 orang. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan Desa Tamansari masih relatif cukup rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin sedikit jumlahnya. Karena masyarakat Desa Tamansari masih beranggapan bahwa pendidikan cukup ditempuh SD saja, sekolah dipandang hanya cukup untuk bisa membaca dan menulis saja. Pada tahun 2007 pemerintah kabupaten Banyuwangi mencantumkan Desa Tamansari sebagai sasaran program Keaksaraan Fungsional. Selain itu sekolah SD Negeri berjumlah : 4 dan SMP Negeri di Desa Tamansari belum ada, sedangkan pendidikan non formal ada empat lembaga yang berada di Desa Tamansari.
4.1.4        Agama
Mayoritas penduduk Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi memeluk agama Islam dengan tempat ibadah 6 masjid dan 52 musholla/langgar, jadi total tempat peribadatan yang ada di Desa Tamansari sebanyak 58 tempat ibadah. Kehidupan beragama masyarakat Desa Tamansari berjalan cukup harmonis. Sejauh hasil pengamatan di lapangan, masjid yang berada di desa selalu penuh jamaahnya, mulai dari anak kecil yang masih belia, remaja, dewasa bahkan sampai yang sudah tua. Mereka hidup tentram dan damai dalam menunaikan shalat lima waktu sehari semalam secara berjamaah. Kegiatan keagamaan yang aktif dilakukan oleh masyarakat Desa Tamansari adalah jama’ah tahlil dan remaja masjid. Misalnya membantu dalam mengelengarakan tahlilan apabila ada warga yang meninggal dunia dan lain-lain.
Komposisi penduduk Desa Tamansari berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel di bawah ini.




Tabel 4.6
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Desa Tamansari
No
Agama
Jumlah
1
Islam
4253 orang
2
Kristen protestan
18 orang
3
Kristen katolik
6 orang
4
Hindu
-
5
Budha
-
6
Konghucu
-
TOTAL
4277 orang
Sumber: Data Monografi Desa Tamansari tahun 2009
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa penduduk Desa Tamansari sebagain besar beragama Islam yang berjumlah 4253 orang, agama yang lainnya yaitu Kristen Protestan berjumlah 18 orang dan Kristen Khatolik berjumlah 6 orang.
Masyarakat Desa Tamansari adalah masyarakat yang sangat agamis, oleh karena itu aktivitas keagamaan terasa sangat mewarnai aktivitas keseharian masyarakat ini. Aktivitas tersebut tidak hanya diikuti oleh para orang tua saja tetapi ada juga kegiatan agama yang khusus bagi para pemuda pemudinya. Misalnya, pengajian yang diikuti dengan cara arisan yang dilakukan pada malam hari dan masing-masing kelompok berbeda harinya.
Biasanya kegiatan tersebut dilakukan dirumah warga setempat secara bergiliran dan biasanya dilakukan seminggu sekali. Kegiatan pengajian ini tidak hanya pengajian yang diikuti oleh orang tua atau remaja desa akan tetapi anak-anak pun mempunyai kelompok pengajian tersendiri yang biasanya dilakukan secara sukarela tanpa adanya paksaan dari orang tua. Jika dilihat dari aktivitas keagamaan masyarakat Desa Tamansari, maka hal ini sudah mencerminkan adanya kehidupan kegamaan yang kuat. 
4.2  Tinjauan Historis Penambangan Belerang Di Kawah Ijen
4.2.1        Sejarah Penambangan Pada Masa Penjajahan Belanda
Bangsa Indonesia dalam perjalanannya tidak lepas dari sebuah catatan sejarah, bahwa bangsa ini pernah dijajah oleh bangsa lain. Penjajahan dimanapun itu akan selalu menorehkan cerita sedih terhadap bangsa yang dijajah. Dalam praktek pelaksanaan kolonialisme selalu dibarengi dengan adanya eksploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia yang ada di negara yang dijajah. Begitu pula yang terjadi kepada rakyat Banyuwangi, penjajahan kolonial Belanda telah mengksploitasi sumber daya  alam dan sumber daya manusia yang ada di Banyuwangi, khususnya terhadap sumber daya belerang yang ada di Kawah Ijen dan masyarakat di sekitar Ijen.
Kronologi sejarah mengenai penambangan belerang di Gunung Ijen dimulai pada saat penjajahan kolonial Belanda. Belanda yang mengetahui di kawah ijen ada sumber belerang memberlakukan kerja paksa agar masyarakat sekitar Ijen bekerja sebagai penambang dan pengangkut belerang. Tepatnya sejak tahun 1911 Belanda memperbudak nenek moyang kita untuk melakukan penambangan secara sederhana di Gunung Ijen, namun sifat penambangan hanyalah seadanya dan tidak di eksplorasi secara banyak. Kepentingan penambangan hanya sebatas untuk kepentingan kolonial Belanda untuk perdagangan yang sedikit. Sebab dimasa itu kegunaan belerang tidak bisa dimanfaatkan secara optimal seperti sekarang ini, disebabkan perkembangan kemajuan iptek tidak secanggih di masa ini.  Belanda menyuruh mengambil belerang hanya ketika ada pesanan belerang dari perdagangan mereka dengan bangsa lain.



4.2.2        Sejarah Penambangan Oleh PT. Candi Ngrimbi
Awalnya dimulainya penambangan belerang di Kawah Ijen bermula karena adanya relokasi para penambang belerang dari Gunung Welirang yang mencari sumber belerang yang baru karena kualitas belerang disana kurang bagus dan kuantitas belerangnya di daerah Gunung Welirang sedikit.  Kemudian seorang pengusaha belerang yaitu pak Ceh mempunyai inisiatif untuk mencari sumber belerang baru karena ditakutkan sumber belerang yang ada di Gunung Welirang  lambat laun akan cepat habis. Sumber belerang tersebut kemudian di temukan di dua tempat yaitu Gunung Ijen dan Pulau Damar, tetapi yang memiliki potensi atau sumber belerang yang cukup banyak dan kualitasnya baik hanya ada di Gunung Ijen.
Penemuan sumber belerang yang cukup melimpah karena adanya proyek Pak Ceh untuk mencari sumber belerang baru, maka dikirim 26 orang dari Tretes guna meninjau Gunung Ijen dan keberadaan belerangnya. Tetapi setelah sampai di Desa Tamansari dari 26 orang tersebut tinggal 6 orang, karena 20 orang lainnya mengundurkan diri disebabkan medan yang harus dilalui cukup sulit dan perlu membabat hutan untuk dibuat jalan menuju sumber belerang tersebut, keenam orang yang bersedia untuk meninju sumber belerang itu adalah Trimorejo, Daim, Dikdo, Sunoto, Samin dan Tahar (wawancara dengan Bapak Samini tanggal 20 April 2010).
Sejarah resmi penambangan belerang di Kawah Ijen dimulai pada tahun 1968, maksudnya ialah sejarah dilakukannya penambangan belerang melalui sebuah perusahaan/badan usaha tetap baru dimulai sejak tahun 1968. Penambangan tersebut awalnya dilakukan oleh orang-orang dari Malang (Tretes) yang sebelumnya telah menambang di Gunung Welirang. Penambang yang menambang belerang di Kawah Ijen pada tahun itu berjumlah sekitar 15 orang dengan harga jual belerang per kilonya Rp. 2-,. Belerang-belerang tersebut dijual kepada Koperasi Raksa yang mempunyai kantor sementara di Gumuk Batur Desa Licin, tetapi pada tahun 1970 di Desa Tamansari terdapat CV Argomulyo yang bergerak dibidang penambangan belerang. (Wawancara dengan Bapak Sumini tanggal 20 April 2010).
Tahun 1970 penambangan tersebut dilakukan oleh CV. Argomulyo yang telah mendapatkan kontrak kerja dari pemerintah daerah Banyuwangi namun belum mempunyai tempat permanen di Desa Tamansari dengan harga jual belerang  per kilonya 5 rupiah. Pada tahun 1973 CV Argomulyo berganti nama menjadi PT. Candi Ngrimbi dengan harga jual belerang per kilonya 10 rupiah. Beban yang diangkut antara 15-30 kg dan pengangkutannya dimulai dari Gunung Ijen ke pabrik dengan berjalan kaki. Hasil yang diperoleh tersebut kemudian langsung ditukarkan dengan kebutuhan pokok di warung. Tetapi, pada tahun 1978 terjadi sebuah malapetaka, yaitu keluarnya gas beracun dari air danau Gunung Ijen yang mengenai 4 orang dan 16 orang pingsan.(wawancara dengan Bapak Didik Suja’i tanggal 20 April 2010).
Di tambang yang dikelola oleh PT. Candi Ngrimbi ini terdapat beberapa dapur solfatara yaitu saluran pipa yang mengalirkan belerang cair dari dalam dinding kawah sampai ke permukaan. Menurut Bapak Sumini (wawancara pada tanggal 20 April 2010), permulaan dapur Solfatara ini ada lima tempat kemudian dibangun menjadi 38 tempat. Pembangunan dapur solfatara ini digali dengan cangkul, awalnya tidak memakai pipa besi tetapi hanya menggunakan batu bara yang ditata seperti saluran air sampai proses penyulingan atau meneteskan belerang cair. Sebelum dibangun belerang yang keluar dalam sehari semalam hanya 7-10 kg dan setelah dibangun sehari semalam bisa menghasilkan 10-15 ton. Dari beberapa dapur solfatara tersebut ada yang diberi nama seperti sarinem, sulastri, sundari, tugu, tlogo dan kodim, hal ini hanya sebutan asal-asalan yang tanpa adanya sebuah latar belakang apapun.
PT. Candi Ngrimbi yang berpusat di Surabaya. PT. Candi Ngrimbi merupakan lembaga satu-satunya yang mengelola penambangan belerang yang ada di Gunung Ijen dan telah mendapatkan ijin resmi dari pemerintah daerah Banyuwangi. Sehingga semua hasil tambang belerang harus ditampung oleh PT. Candi Ngrimbi yang berlokasi di Desa Tamansari serta tidak diperkenankan seorang penambang belerang untuk menjual pada pihak lain.
Text Box:  469 K/05/MPE/1989


       429/KPTS-II/1989           
                    Berdasarkan surat keputusan bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan tanggal: 23 Agustus 1989, Nomor:
Text Box: 429/KPTS-II/1989          
Tentang pedoman pengaturan pelaksanaan usaha pertambangan dan energi dalam kawasan seperti yang dimaksud.
Pasal 3 ayat: 1.  Usaha pertambangan dan energi sebagaimana termaksud dalam pasal 1 ayat 1 dapat dilaksanakan didalam daerah cagar alam dan suaka margasatwa, taman buru, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi dengan ijin penggunaan kawasan oleh menteri kehutanan sesuai dengan tata cara yang dimaksud pada pasal 8 surat keputusan ini.
                        2.  Usaha pertambangan dan energi sebagaimana Gunung Pendil, Gunung Melatan, Gunung Raung (masih aktif), Kawah Ijen (masih aktif), Cekungan Belawan, pinggir kaldera dan arah longsoran panjang dan mata air panas
Tabel 4.7
  Daftar Harga Jual Belerang (Rupiah)
Tahun
Harga
Tahun
Harga
1968
Rp.2,-
1988
Rp.80
1970
          Rp.5
1991
Rp.90
1973
Rp.10
1994
Rp.100
1976
Rp.25
1997
Rp.150
1979
Rp.50
2000
Rp.212
1982
Rp.60
2003
Rp.300
1985
Rp.70
2007
Rp.500
2008
 Rp.500
2009
Rp.600
2010
Rp.600


Sumber: Data dari wawancara dan observasi diolah tahun 2010
Tahun 1980 pengangkutan belerang dari kawah sampai ke Sodong karena jalan menuju Gunung Ijen berupa jalan makadam. Tahun 1970 posnya di pindah dari Sodong ke Paltuding hingga sekarang dengan jalan yang sudah di aspal sehingga belerangnya dapat diangkut dari Paltuding dengan mengunakan truk.
Setiap hari para penambang belerang ini harus berjalan kaki menuju tempat penambangan yang berjarak 3 km dari Paltuding. Kebanyakan dari mereka berasal dari kota Banyuwangi tepatnya dari kecamatan Licin, Giri, Kalipuro dan Songgon serta dari kabupaten Bondowoso yaitu kecamatan Sempol. Dari Banyuwangi menuju kawah mereka tempuh dengan menumpang truk atau berjalan kaki mulai subuh dan mencapai Paltuding di pagi hari, dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Para penambang belerang ini ada yang bekerja secara resmi terdaftar di perusahaan, namun ada juga yang hanya sebagai pekerja lepas. Jalanan menanjak dan berbatu adalah hal biasa bagi mereka, dan merupakan pilihan hidup yang harus dilalui demi pemenuhan kebutuhan hidup keluarga.
Bongkahan belerang yang telah ditata dalam keranjang kemudian diikat untuk selanjutnya dibawa menuju ke pos penimbangan sampai ke Paltuding. Namun sebelumnya perlu ditimbang dahulu keseimbangannya baru kemudian siap untuk dibawa. Untuk memudahkan dibutuhkan dua tiang penyangga agar pengangkatannya menjadi lebih ringan. beban yang diangkut oleh setiap orang tidaklah sama tergantung pada kemampuan  dan kondisi kesehatan masing-masing. Namun sekali angkut minimal mereka mampu membawa beban mulai dari 50 kg, bahkan sampai 80 kg bongkahan belerang. Untuk memudahkan proses pengangkutannya, beban seberat ini dibagi dalam dua keranjang. Selanjutnya mereka harus berjuang melewati jalan berbatu dan menanjak sampai keatas. Di sinilah ketangguhan fisik mereka benar-benar diuji, salah melangkah sejengkal saja nyawa menjadi taruhannya. Namun pekerjaan mereka ini bukannya tanpa jaminan, karena jaminan sosial dan kesehatan penambang belerang ditanggung oleh perusahaan.

4.3  Keunikan Penambangan Belerang di Gunung Ijen
Keberadaan lokasi penambangan juga menjadi keunikan yang lain dari wisata Kawah Ijen selain tentunya keindahan panorama yang ada di sana. Penambangan belerang disini masih memakai cara tradisional yang pengangkutannya memakai cara di angkut/dipikul tenaga manusia. Penambangan tradisional ini konon hanya terdapat di Indonesia yaitu di Gunung Welirang dan Ijen. Penambangan yang sudah ada sejak era kolonial Belanda tersebut masih tetap memakai cara tradisional sampai sekarang ini. Dengan melimpahnya persediaan sumber alam yang dihasilkan oleh suatu daerah maka akan mengakibatkan banyak orang berniat untuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan bagi dirinya dan masyarakat sekitar.
Adanya sebuah berkah berupa sumber daya alam yang melimpah terkadang juga menimbulkan sebuah upaya agar sumber daya alam tersebut tetap lestari dan memberi banyak kebaikan kepada masyarakat sekitarnya. Upaya untuk tetap menjaga kelestarian sumber daya alam belerang yang ada di gunung Ijen telah memunculkan sebuah keunikan tersendiri dari kegiatan penambangan yang ada di gunung ijen.
Keunikan utama dari penambangan belerang di Gunung Ijen adalah adanya sebuah tradisi yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat penambang belerang dari sejak awal penambangan sampai dengan saat ini. Tradisi yang sudah menjadi sebuah keharusan agar tetap selalu dilaksanakan setiap waktu tertentu. Kegiatan ritual ini dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tamansari khususnya penambang belerang  setiap bulan suro.
Ritual yang dilakukan oleh para penambang belerang di bulan suro ini memiliki sebuah makna religi yang sangat tinggi. Acara ritual yang dilakukan biasanya dengan memberikan sesaji serba tujuh rupa/macam setiap menginjak bulan suro, yakni dengan sesaji jenang tujuh rupa/warna atau dikenal dengan “jenang pitu”, kemudian kembang tujuh macam juga, serta jajan atau kue pasaran yang juga berwarna tujuh. Pemberian sesaji serba tujuh ini merupakan sebuah penghayatan kepercayaan masyarakat penambang bahwa alam yang diciptakan serba tujuh yakni langit dan bumi yang berlapis tujuh, kemudian surga dan neraka yang terdiri dari tujuh tingkatan, serta jumlah hari yang juga tujuh member sebuah mitologi tersendiri kepada masyarakat penambang belerang untuk melakukan sebuah ritual yang sesembahannya juga serba ada tujuh macam.  Adanya sebuah persepsi para penambang bahwa dengan memberikan sesembahan serba tujuh maka tujuh penjaga langit dan tujuh penjaga bumi akan selalu memberikan sebuah keselamatan dan barokah dengan tetap menjaga sumber belerang dan gunung Ijen tetap memberi sebuah manfaat yang berguna bagi mereka.
Alam pikiran, pandangan, dan kehidupan masyarakat penambang belerang yang masih memegang teguh adat-adat kejawen yang bersumber pada sinkritisme Hindu-Budha membuat mereka yakin bahwa jika upacara atau ritual tersebut tidak dilakukan maka bisa membuat celaka para penambang. Ritual turun-temurun ini tetap dilakukan demi menjaga keselamatan para penambang sampai dengan saat ini. Symbol serba tujuh dalam upacara suroan di areal penambangan belerang memberikan sebuah makna tentang konsepsi masyarakat penambang tentang dunia.
Adanya sebuah tradisi sedekah atau sesajen setiap bulan suro memberikan sebuah nilai keunikan tersendiri tentang penambangan belerang yang ada di gunung Ijen, hanya di gunung Ijen tradisi tersebut ada dan selalu dilaksanakan untuk dijaga kelestariannya sebagai wujud dari adanya rasa hormat kepada leluhur serta lambang adanya hubungan antara para penambang dengan penguasa alam. Meski derasnya arus globalisasi dan perspektif atau pandangan masyarakat yang semakin modern. Para penambang tetap dengan rutin melakukan ritual tersebut karena adanya sebuah kepercayaan yang kuat jika ritual atau sesembahan tersebut tidak dilaksanakan maka akan membuat para penambang celaka saat bekerja.
Sedangkan sebuah ritual lain yang dilaksanakan di sekitar gunung Ijen adalah pemberian sesaji disekitar area penambangan setiap kamis legi dengan menaruh nasi dengan lauk pauknya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk mitologi yang disakralkan oleh mereka dengan asumsi bahwa kamis legi yang menurut para penambang sebagai hari diawalinya kegiatan penambangan pertama kali harus tetap diperingati atau disakralkan karena hari itu dianggap para penambang mendapat ijin menambang dari penunggu gunung Ijen.
4.4  Kegiatan Penambangan Belerang Kawah Ijen
4.4.1        Proses Penambangan Belerang
Kawah Ijen ini dapat dilewati melalui pematang kawah yang berketinggian antara 2145 sampai 2386 m diatas permukaan laut. Selanjutnya kita harus menuruni lereng berbatu terjal hingga mencapai kemiringan 60 derajat. Batu-batu  besar dan padat ini setiap harinya dilewati tidak kurang dari 200 orang penambang, baik karyawan tetap maupun lepas yang tidak setiap hari bekerja. Disini kita akan menjumpai para penambang yang hendak naik menuju pos maupun yang hendak turun menuju tempat penambangan yang terletak disebelah tenggara danau Kawah Ijen. Namun kegaiatan ini hanya berlangsung tidak lebih dari jam 10 pagi sebab sesudahnya akan muncul kabut asap mengandung solfatara yang berbahaya bagi kesehatan. Dari atas bukit tampak tambang belerang yang mengepulkan asapnya pertanda telah dimulainya aktivitas penambangan seiring dengan terbitnya matahari pagi. Kepulan asap dan bau belerang yang menyengat adalah hal biasa bagi para penambang belerang. Sublimat belerang merupakan produk kawah Ijen yang sudah dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dalam industri kimia. Belerang dihasilkan dari hasil sublimasi gas-gas belerang yang terdapat dalam asap solfatara yang bersuhu sekitar 200 derajat celcius. Komplek solfatara Gunung Ijen terdapat di sebelah tenggara dan merupakan bagian dari dinding danau itu sendiri.  Batuan yang terdapat di areal solfatara sudah teraltrasi secara intensif yang didominasi warna putih sampai kuning.
Perusahaan tempat para penambang bekerja memberikan asuransi kecelakaan kerja namun dengan syarat asuransi ini berlaku semasa jam kerja saja yaitu mulai pukul 06.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB. Diluar jam itu resiko ditanggung penambang sendiri. Untuk menjaga stamina biasanya mereka rajin meminum jamu tradisional, namun jika merasa tidak enak badan  mereka memeriksakan diri ke dokter. Para penambang ini harus benar-benar memperhatikan kesehatannya, mengingat pekerjaannya yang tidak ringan. Bunga Edelweiss banyak dijumpai di daerah Puncak Ijen yaitu bunga yang identik dengan para pendaki gunung. Sesampainya di atas mereka masih meneruskan perjalanan hingga menuju ke pos penimbangan sementara, namun sebelumnya kita akan melewati sebuah stasiun antena orari yang telah dibangun sejak tahun 70an. Antena setinggi 40 meter ini berfungsi untuk menyambung komunikasi dari para penambang belerang yang semakin bergegas menuju penimbangan sementara, agar mereka dapat mengetahui berapa rupiah yang dapat diraih dan untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Penambang belerang biasanya berangkat dari rumah pada sore hari yaitu sekitar pukul 16.00 WIB atau jam 4 sore dan sampai di tempat penginapan yang terletak di Paltuding kira-kira pukul 18.00 WIB atau jam 6 sore. Biasanya para penambang belerang bercengkrama sampai pukul 21.00 WIB setelah itu mereka akan beristirahat atau tidur sampai pukul 04.00 WIB. Setelah menyiapkan segala sesuatunya jam 05.00 WIB mereka akan berangkat menuju ke Pondok Bunder yang memerlukan waktu tempuh kurang lebih 1,5 jam perjalanan samapi 2 jam perjalanan. Di  belakang Pondok Bunder terdapat penginapan untuk penambang belerang dan petugas dari PT. Candi Ngrimbi yang masing-masing mempunyai tugas yaitu pengontrol kegiatan penambangan dan menimbang belerang yang diangkut oleh penambang belerang. Setelah dari Pondok Bunder para penambang belerang melanjutkan perjalanannya menuju kawah Ijen dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam perjalanan dengan istirahatnya, setelah itu para penambang melakukan pengambilan belerang sebanyak dua keranjang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Setelah selesai mereka akan membawa belerang dari kawah menuju puncak yang dilanjutkan ke Pondok Bunder untuk ditimbang sesuai dengan nomor kuponnya, setelah itu dibawa ke penampungan yang berada di Paltuding dan akhirnya dibawa oleh truk ke penampungan yang berada di Desa Tamansari yaitu di PT. Candi Ngrimbi. Berikut untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema proses pengangkutan belerang dibawah ini:


 











Cara kerja yang dilakukan penambang belerang biasanya mereka berangkat pada tengah malam hari dan siang hari mereka sudah sampai dirumah kembali. Biasanya mereka menambang belerang setiap dua hari sekali, namun jika penambang menginginkan tambahan pendapatan maka setelah mengangkut belerang sampai ketempat penampungan yang berada di Paltuding mereka tidak langsung pulang melainkan akan meneruskan untuk menambang lagi. Karena jika mereka pulang jarak rumah dengan tempat menambang kurang lebih 17 kilometer. Cara kerja yang terus menerus ini biasanya dilakukan para penambang belerang jika dirasa ada tambahan kebutuhan hidup, seperti pada waktu mendekati lebaran. Sehingga pada waktu itu banyak terlihat para penambang yang menginap di Paltuding, sedangkan pada hari biasa sedikit sekali yang menginap di Paltuding.
Tempat penampungan yang berada di Gunung Ijen ada dua. Tempat penampungan pertama ini dibawa oleh penambang belerang dari kawah Ijen ditimbang oleh petugas dari PT. Candi Ngrimbi dan ditulis pada sebuah kartu atau kupon yang nantinya akan dicocokkan di tempat penampungan kedua yang merupakan tempat penampungan akhir. Tempat penampungan kedua terletak di daerah bernama Paltuding yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari tempat penampungan pertama. Setelah belerang-belerang terkumpul ditempat penampungan kedua, sekitar jam 17.00 belerang diangkut oleh kendaraan truk dari PT. Candi Ngrimbi yang kemudian dibawa ke tempat pemasakan yang terletak di Desa Tamansari.
Adapun cara-cara penambangan dengan cara penyulingan atau dengan kondensasi sebagian uap sulfatara dinilai merupakan cara yang sangat tepat baik ditinjau dari kualitas belerang yang dihasilkan maupun usaha pelestarian lingkungan. Pembentukan sublimat pada dinding kawah yang dikeluarkan pada sulfatara disalurkan melalui kondensasi yang jumlahnya berkisar antara 40-44 batang. Proses kondensasi belerang terjadi dalam pipa-pipa tersebut. Temperatur dari tiap uap yang masuk dari pipa kondensasi anatara 300-400 C, sedangkan temperatur udara berkisar antara 9 – 15 C. Adanya perbedaan temperatur bagian dalam dan bagian luar yang relatif cukup besar dan jumlah aliran uap belerang maka memungkinkan uap tersebut turun temperaturnya hingga titik cairnya dan akan meneteskan cairan di ujung pipa kondensasi, disebabkan karena ada pendinginan udara luar maka tetesan belerang yang telah terkumpul di dasar kawah akhirnya mengeras. Untuk mengambilnya digunakan linggis sebagai alat pencongkel, sedangkan belerang yang didapatkan berupa dipikul menggunakan keranjang ke tempat penimbangan di Paltuding dengan jarak 4 kilometer dari kawah, kemudian diangkut dengan kendaraan truk milik perusahaan ke tempat pemerosesan di Desa Tamansari yang berjaraj 17 km.
Cara pengolahan atau pemurnian yang dilakukan oleh PT. Candi Ngrimbi adalah dengan jalan memisahkan kotoran dan bahan lain yang ikut tercampur bersama endapan belerang murni dengan kadar 99,8 % . Berikut ini merupakan skema pengolahan atau pemurnian belerang.


Proses pengolahan belerang
 
 

   


 






Penjelasan:
Pemilihan : dilakukan dengan cara menuai terhadap belerang mentah yang diambil dari sulfatara yang tidak terkontaminasi bahan lain, sehingga didapatkan bongkahan-bongkahan belerang murni.
Pembersihan: Belerang mentah yang berasal dari sulfatara yang terkontaminasi bahan lain hanya permukaannya saja yang dibersihkan dengan menggunakan pisau bendo atau berang sehingga didapatkan bongkahan-bongkahan belerang murni.
Permasalahan  : belerang mentah yang tidak dimurnikan dengan kedua cara diatas dikumpulkan untuk dimasak dengan menggunakan wajan besar pada suhu tertentu sehingga  mencair. Belerang yang mencair dan yang tercampur kotoran kemudian disaring dengan kawat monel dan kain blacu, hasil saringan berupa cairan belerang kemudian dicetak sesuai dengan kebutuhan para konsumen.
Keterangan: tahun 1996 terjadi kebakaran dalam proses pemasakan di perusahaan yang ada di Desa Tamansari sehingga pemasakan dipindah ke Surabaya.














4.4.2        Perlengakapan Yang digunakan Dalam Penambangan.
             Aturan tentang perlengkapan kerja juga menjadi perhatian, diantaranya ialah anjuran untuk memakai sepatu dan helm, memeriksa perlengkapan kerja dan menghindari kecerobohan-kecerobohan selama proses kerja berlangsung. Berbagai peralatan yang digunakan oleh para penambang untuk mengambil belerang di Kawah Ijen ternyata masih sederhana dan berisiko tinggi terhadap keselamatan para penambang. Hal ini lebih jelasnya tentang alat yang digunkan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.8
 Jenis Alat yang Digunakan
No.
Jenis alat yang digunakan
Penambang
1
Sarung dan keranjang
4
2
Sarung dan keranjang dan alat pengungkit
6
3
Sarung dan keranjang, alat pengungkit dan sarung tangan
2
Jumlah
12
Sumber: dari data wawancara dan observasi diolah tahun 2010
             Penambang belerang di kawah Ijen untuk membawa belerang biasanya menggunakan keranjang besar yang terbuat dari anyaman kayu, dengan bantuan alat  sederhana yaitu kain dan terkadang ada penambang yang memakai sarung tangan sederhana untuk mengambil bongkahan-bongkahan belerang. Aktivitas yang dilakukan oleh para penambang belerang tersebut dengan berjalan jauh menuruni bawah tepian danau kawah Ijen yang ada bagian berbatu-batu berwarna kuning dan mengeluarkan asap yang merupakan sumber belerang yang ditambang oleh para penambang. Pada dasar kawah Ijen diselimuti kepulan asap belerang yang tebal dengan bau khas menyengat hidung dan puluhan penambang tampak tenang mengambil belerang disekitarnya. Padahal mereka melangkah tanpa masker oksigen, yang bisa mencegah dari semburan asap adalah lilitan kain sarung untuk menutupi wajahnya. Kain sarung yang basah yang ditutupkan pada hidung akan mampu setidaknya menetralisir bau belerang agar tidak terlalu berefek buruk bagi pernafasan.
             Kebanyakan dalam melakukan kegiatan penambangan belerang hanya menggunakan alat  sederhana seperti memakai keranjang dan terkadang pakai alat pengungkit batu serta kain sarung. Alat-alat yang digunakan untuk menambang belerang yang dilakukan oleh teman-teman lainnya sesama penambang juga sama seperti kain sarung, keranjang dan beberapa alat pengungkit menjadi bekal dalam bekerja. Hal ini dapat kita ketahui bahwa dalam melakukan penambangan belerang dimana belerang merupakan tempat bebatuan yang di daerah sekitarnya banyak asap dan bau-bau yang sangat berbahaya bagi yang menghirup secara terus menerus.
             Pentingnya penambang dalam memperhatikan kesehatan dirinya akibat gas-gas yang dapat merusak pernafasan sangat kurang diperhatikan dan kesadaran mereka tertutupi oleh adanya tuntutan yang harus dilaksanakan yaitu mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
             Penambang belerang memiliki ciri-ciri dan sudah menjadi kebiasaan kalau mengambil belerang kulit pecah-pecah dan bluduki (mengelupas). Cara mengambil belerang biasanya ada yang mengunakan tangan dan dicongkel, tapi rata-rata penambang pakai congkelan untuk memecah belerang yang sudah beku jadi batu besar. Menjadi penambang belerang memiliki resiko kulit pecah-pecah yang sudah menjadi hal biasa dan tidak perlu dikhawatirkan.    
             Dalam aktivitas yang dilakukan penambang naik turun dari atas ke bawah dan naik lagi, mereka lalui dalam sehari sebanyak dua sampai tiga kali. Hal ini mereka lakukan demi untuk mencari nafkah dan untuk menghidupi keluarganya. Kesadaran akan pentingnya keselamatan dalam bekerja sangat kurang, jalan yang sulit dan bebatuan yang harus dilalui serta gas yang berbahaya dari kawah menjadi santapan setiap harinya.
             Bekerja sebagai penambang belerang dengan tidak memperhatikan keselamatan dirinya dan bahaya yang dihadapinya sehari-hari sering dijumpai ditempat kerja para penambang belerang. Dengan uang hasil jual yang tidak seberapa, mereka tetap melakukan pekerjaan itu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Satu hal yang cukup memprihatinkan adalah tidak adanya perhatian dari perusahaan penampung hasil tambang pada pekerja dalam hal ini dari PT. Candi Ngrimbi yaitu para pekerja tidak dianggap bagian dari perusahaan atau tidak mendapatkan perhatian dari perusahaan baik untuk asuransi keselamatan kerja maupun asuransi kesehatan dan tunjangan kesejahteraan pekerja. Kenyataan ini membuat posisi para penambang sangat dirugikan sebab lokasi penambangan belerang tersebut sangat memungkinkan terjadinya kecelakaan kerja sehingga memerlukan asuransi keselamatan kerja.

4.4.3        Kendala-kendala Dalam Penambangan Belerang
Pembangunan pertambangan diarahkan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tambang secara hemat dan optimal bagi pembangunan nasional demi kesejateraan rakyat, dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup serta ditujukan untuk menyediakan bahan baku bagi industri dalam negeri, sebagai keperluan energi dan bagi keperluan masyarakat, serta untuk meningkatkan ekspor, meningkatkan penerimaan negara dan pendapatan daerah, serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan usaha.
Penambangan belerang di Gunung Ijen telah memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat Desa Tamansari khususnya bagi penduduk yang tidak memiliki pendidikan, tamatan SD yang tidak memiliki keahlian atau skill khusus karena untuk menambang belerang di Gunung Ijen tidak membutuhkan keahlian atau skill karena yang dibutuhkan hanya kekuatan fisik dan kerja keras.
Bekerja sebagai penambang belerang di Gunung Ijen memiliki kendala atau hambatan yang harus dihadapi. Kendala-kendala tersebut sebagai berikut:
1.      Keselamatan kerja
Penambang belerang dalam mengangkut belerng mereka harus menuruni bebatuan tebing yang curam dan sempit melalui jalan setapak, jika tidak hati-hati maka bisa terjadi kecelakaan kerja yang bisa merenggut nyawa para pekerja itu sendiri.
2.      Kesehatan
Dampak yang dialami oleh penambang belerang dalam menambang belerang adalah kerusakan paru-paru akibat gas yang dikeluarkan oleh kawah tempat bebatuan belerang berada yang terus menerus dihirup oleh penambang pada saat menambang belerang yang nantinya bisa menjadi bom waktu yang bisa mengikis kesehatan mereka setiap hari, karena asap yang dikeluarkan mengandung gas yang berbahaya bagi kesehatan tubuh.  
3.      Tranportasi
Pengangkutan belerang dari dapur sulfatar masih menggunakan tenaga manusia dan harus berjalan sejauh kurang lebih 4 kilometer untuk sampai di Paltuding, tetapi dari Paltuding menuju PT . Candi Ngrimbi yang terletak di Desa Tamansari saat ini sudah menggunakan truk dan penggunaan alat transportasi berupa truk sudah digunakan mulai tahun 1990. Sebelum tahun 1990-an atau awal dimulainya penambangan belerang di Gunung Ijen para penambang belerang harus mengangkut belerang dari Gunung Ijen langsung ke Desa Tamansari dengan berjalan kaki.

4.4.4        Produksi Belerang
Belerang adalah salah satu material dasar yang penting dalam proses kimia, berbentuk zat padat yang berwarna kuning dan banyak dipakai untuk bermacam-macam bahan kimia pokok maupun sebagai bahan pembantu. Jenis belerang setelah mengalami proses produksi akan dihasilkan bermacam bentuk. Belerang hasil produksi ini banyak digunakan oleh pabrik ban dan karet sebagai bahan baku, dipergunakan sebagai pupuk dan fungisida di perkebunan, sebagai bahan untuk obat-obatan, kosmetik, dll. Bahan baku belerang dapat diperoleh dari beberapa sumber yaitu salah satunya di kawasan kawah Ijen, Banyuwangi.
Belerang dikawasan kawah Ijen ini merupakan salah satu sumber daya alam atau kekayaan alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar kawah Ijen. Dengan adanya penambangan belerang ini bermanfaat bagi masyarakat disekitarnya sebagai mata pencaharian sehari-hari guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hidup berkembang biak dan mempertahankan diri dengan cara memanfaatkan alam dan kekayaan yang didapatkan di tanah airnya merupakan naluri dan fungsi utama semua makhluk Tuhan. Pemanfaatan ini harus berkembang seirama dengan perkembangan penduduk (Lemhanas, 1985:67).
Dinaikkannya harga jual belerang dan naiknya bahan pokok perusahaan sehingga harga belerang terus meningkat, kenaikan harga belerang ini meningkatkan pendapatan para penambang belerang. Akan tetapi dengan pendapatan yang mengalami kenaikan pengeluaran atau biaya hidup yang ditanggung oleh penambang juga mengalami peningkatan. Para penambang tidak berani menjual belerangnya kepada tengkulak lain karena ada mandor yang mengawasi pekerjaan mereka dan menimbang serta mencatat berapa banyak belerang yang diangkut. Dengan demikian produksi belerang PT. Candi Ngrimbi semakin meningkat karena para penambang belerang PT. Candi Ngrimbi hanya menjual hasil tambangnya ke PT. Candi Ngrimbi ( Gunung Ijen, 2010:4).
Pendapatan penambang bertambah hal ini juga mempengaruhi proses produksi belerang dimana penambang belerang menjual belerang yang diangkut dari kawah Ijen ke PT. Candi Ngrimbi dan belerang mentah yang berasal dari hasil tambang dari gunung banyak dipergunakan oleh pabrik ban dan karet sebagai bahan baku, dipergunakan sebagai pupuk dan fungisida di perkebunan-perkebunan, sebagai bahan obat-obatan, kosmetik dan sebagai pemurni nira di pabrik gula. Dibawah ini dapat diketahui grafik produksi belerang sebagai berikut:
Grafik 4.1. Produksi Belerang Per lima Tahun
Text Box: Rata-rata produksi perlima tahun (ton)Text Box: 2520Text Box: 2376Text Box: 2016Text Box: 1656Text Box: 1296Text Box: 956Text Box: 432Text Box: 360Text Box: 1988Text Box: 2009Text Box: 1993Text Box: 1998Text Box: 1978Text Box: 1973Text Box: 1968Text Box: 0Text Box: 500Text Box: 1000Text Box: 1500Text Box: 2000Text Box: 2500Text Box: 3000   










 


Text Box: 2003Text Box: 1983Sumber : data dari wawancara dan observasi diolah tahun 2010
Dari grafik diatas diketahui bahwa hasil produksi pertambangan belerang secara kontinue terus meningkat. Meningkatnya hasil produksi penambangan bukan disebabkan oleh semakin canggihnya peralatan yang digunakan dalam penambangan akan tetapi oleh karena kuantitas pekerja belerang juga terus meningkat  dan disebabkan juga bahan baku belerang yang ada di kawah Ijen kualitasnya adalah yang terbaik dan sangat melimpah. Selain itu. Bahan baku yang dapat dipergunakan akan menjadi input dari sistem produksi dalam suatu perusahaan (Ahyari, 1998:90).
Produksi adalah pengubahan bahan-bahan dari sumber-sumber menjadi hasil yang diinginkan oleh konsumen. Hasil itu dapat berupa barang dan jasa (Swastha, 1995:280). Bahan-bahan produksi PT. Candi Ngrimbi adalah belerang yang akan diproduksi menjadi bahan baku produksi yang disalurkan ke pabrik-pabrik yang menggunakan belerang sebagai bahan baku produksinya.
Proses produksi belerang di kawah Ijen ada dua. Pada awalnya belerang dibawa ke tempat penampungan pertama kemudian dibawa ke tempat pemasakan yang terletak di desa Tamansari. Belerang yang didapatkan berupa bongkahan-bongkahan belerang, cara pengolahan atau pemurnian yang dilakukan oleh PT. Candi Ngrimbi adalah dengan jalan memisahkan kotoran dan bahan lain yang ikut tercampur bersama endapan belerang (bongkahan belerang) hasil sublimasi kawah Ijen sehingga diperoleh belerang murni dengan kadar 99,8%. Dalam pengolahan atau pemurnian belerang dilakukan dengan tiga cara yaitu pemilihan, pembersihan dan pemasakan.









4.5  Dinamika Kehidupan Sosial Ekonomi Penambang Belerang
4.5.1        Kehidupan Sosial Penambang Belerang
Kondisi masyarakat Desa Tamansari yang mata pencahariannya sebagai penambang meletakkan status sosial kehidupannya pada tingkatan yang rendah, sehingga memberikan gambaran pula bahwa latar belakang pendidikan, ketrampilan dan ekonomi sangat rendah pula. Kondisi ini akibat mereka mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan lain yang lebih menjanjikan guna meningkatkan pendapatannya dan merubah taraf hidup keluarganya. Kalau dicermati secara seksama mata pencaharian masyarakat Desa Tamansari hanya bertumpu pada pekerjaan penambangan yang notabene pendapatan dari hasil penambangan ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari walaupun jenis pekerjaan ini dirasa berat untuk dilakukan namun karena keterampilan mereka terbatas untuk beralih profesi dengan pendapatan yang lebih menjanjikan dipandang dari segi pendapatan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Munculnya keinginan untuk menjadi penambang belerang tidak terlepas dari interaksi dengan orang sekitarnya. Hal ini disebabkan karena lingkungan sosial mempunyai pengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan sikap serta perilaku kita yang merupakan hasil dari interaksi sehari-hari dengan lingkungan disekitar seperti tetangga, saudara ataupun teman, karena melihat keberhasilan menjadi penambang belerang terlebih dahulu. Pekerjaan berat ini dilakukan karena tidak adanya pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan untuk menghasilkan uang, walaupun masyarakat sadar bahwa melakukan pekerjaan penambangan belerang berisiko tinggi, melelahkan dan disisi lain jumlah pendapatan yang diterima tidak sebanding dengan resiko yang dihadapi. Keadaan semacam ini kemudian oleh masyarakat sekitar Desa Tamansari dipakai sebagai sarana untuk mencari sumber penghasilan dengan cara yang mudah walaupun dengan pendapatan minim, akibatnya masyarakat enggan untuk mengembangkan dirinya dalam mencari penghasilan di sektor pekerjaan yang lain utamanya bagi masyarakat yang bekal pengetahuannya, ketrampilan dan permodalan yang sangat minim. Akibat yang lebih fatal kehidupan sosial ekonomi masyarakat tidak bisa berkembang karena dengan bekerja sebagai penambang mereka tidak memperoleh pengalaman kerja sehingga mereka mengalami kesulitan untuk berpindah pada bidang pekerjaan lain.
Para penambang belerang tertarik untuk bekerja sebagai penambang belerang karena jenis pekerjaan penambangan belerang tidak dituntut keahlian tertentu sehingga mereka dengan mudah dapat bekerja dipenambangan belerang. Disisi lain masyarakat Desa Tamansari melihat bahwa bekerja sebagai penambang belerang sudah dapat memperoleh pendapatan dan dapat digunakan untuk biaya kehidupannya walaupun pada tingkat kebutuhan inti (kebutuhan sehari-hari). Namun demikian juga penambang belerang yang bekerja secara maksimal dengan didukung dengan fisik yang kuat mereka mampu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabungkan guna membiayai pendidikan putra-putrinya, dan membeli ternak seperti sapi atau kambing.
Sebagai salah satu upaya untuk menjaga stamina masyarakat Desa Tamansari yang bekerja sebagai penambang belerang mereka mengatur volume kerja dengan cara mereka mengambil hari-hari tertentu sebagai hari libur dan memanfaatkan secara maksimal fasilitas yang diberikan perusahaan seperti susu dan kacang hijau untuk menyegarkan saluran pernafasan mengingat belerang mengandung racun.  
Keberadaan penambang belerang di Desa Tamansari disamping pekerjaannya sebagai penambang ada pula sebagian yang mempunyai pekerjaan sampingan seperti buruh tani, tukang batu, pedagang, pemetik cengkeh dan kopi. Pekerjaan sampingan ini mereka lakukan untuk mengisi kekosongan waktu saat mereka tidak melakukan penambangan belerang yang disebabkan adanya musim hujan, saat musim panen cengkeh dan kopi karena hasilnya lebih banyak dari penghasilan menambang belerang dan pada waktu menambang belerang mereka juga menjual souvernir berupa kerajian dari belerang yang berbentuk hewan atau bunga kepada para wisatawan domestik maupun luar negeri yang berwisata ke Gunung Ijen.
Untuk lebih jelasnya tentang gambaran pekerjaan sampingan para penambang belerang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.9
 Pekerjaan Sampingan Penambang Belerang
Pekerjaan Sampingan
Orang
Buruh tani
2
Peternak
1
Tukang Batu
3
Pedagang
1
Buruh Pemetik Cengkeh dan Kopi
5
Jumlah
12
Sumber: data dari wawancara dan observasi diolah tahun 2010
Di dalam anggota keluarga para penambang belerang juga tidak ada yang bekerja dan hanya mengandalkan suami sebagai penambang dan sebagai kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, satu hal yang menarik karena adanya upaya dari penambang belerang di Desa Tamansari untuk mengoptimalkan peranan jaringan sosial yang ada disekitarnya sebagai media atau alat untuk bisa menutupi kekurangan hidup keluarganya, misalnya dengan berhutang dulu kemudian membayarnya ketika gajian atau ketika suami pulang membawa uang hasil menambang belerang.
Sebagian besar kondisi fisik bangunan rumah yang dihuni oleh penambang diantaranya adalah rumah kontrakan, rumah semi permanen dan rumah belum permanen. Rumah tempat tinggal penambang rumahnya berukuran relatif kecil, yang dindingnya terbuat dari “gedhek” beratapkan genteng, dan lantainya masih tanah. Jika dilihat dari keadaan rumah dan perhitungan pendapatan dapat dikatakan bahwa kondisi perekonomian penambang belerang masih dibawah rata-rata.
Berlangsungnya kehidupan seseorang tidak pernah lepas  dari pendidikan yang dimiliki. Dikarenakan pendidikan merupakan salah satu kunci seseorang dalam meningkatkan tarap hidupnya dan keluarganya, melalui pendidikan inilah kesejahteraan seseorang  dapat ditingkatkan. Pendidikan sendiri cenderung mempengaruhi corak hidup dan pola pikir serta wawasan seseorang, sehingga dengan pendidikan yang dimiliki seseorang akan mempunyai orientasi berpikir dalam mencari peluang kerja yang sesuai dengan pendidikannya.
Rendahnya pendidikan yang dimiliki penambang belerang karena sesuai mata pencaharian yaitu memburuhkan tenaganya. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila dalam pemilihan pekerjaan pokoknya dan pekerjaan sampingannya adalah sebagai buruh tani atau buruh pemetik cengkeh dan kopi pada waktu panen. Untuk mengetahui rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh penambang dapat dilihat dibawah ini:

Tabel 4.10
Tingkat Pendidikan Penambang Belerang
Tingakat Pendidikan
Jumlah
Lulus SD
3
Lulus SMP
2
Tidak sekolah
7
Total
12
Sumber: data dari wawancara dan observasi diolah tahun 2010

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa 3 responden adalah lulusan SD, Sedangkan yang tidak lulus SD berjumlah 2 responden, sedangkan sisanya 7 responden tidak memiliki pendidikan sama sekali. Hal ini mencerminkan betapa rendahnya tingkat pendidikan responden sehingga mengakibatkan mereka memilih bekerja yang berorientasi memburuhkan tenaganya dalam hal ini adalah sebagai penambang belerang.
Selain itu kesadaran penambang belerang akan arti pendidikan dan kemauan untuk menyekolahkan anak dapat dilihat  dari tingkat pendidikan anak. Hal ini juga dapat digunakan untuk melihat sejauh mana motivasi penambang belerang terhadap pendidikan anak, bila dihubungkan dengan keadaan sosial ekonomi mereka. Adapun tingkat pendidikan anak para penambang adalah sebagai berikut:

Tabel 4. 11
Tingkat Pendidikan Anak Penambang Belerang
Tingkat Pendidikan anak
Jumlah
SD
6
SMP
4
SMA
2
Total
12
      Sumber: data dari wawancara dan observasi diolah tahun 2010
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa pendidikan anak penambang belerang untuk SD yaitu berjumlah 6 anak, merupakan jenjang pendidikan yang banyak ditempuh oleh anak penambang belerang. Sedangkan untuk pendidikan yang ditempuh oleh anak penambang belerang untuk jenjang SMP hanya berjumlah 4 anak dan untuk jenjang SMA hanya berjumlah 2 anak penambang belerang yang bisa melanjutkan sampai jenjang ini.
Masyarakat Desa Tamansari khususnya penambang belerang masih mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap tradisi dan istiadat turun menurun. Tradisi dan adat istiadat tersebut antara lain dalam bidang penambangan masih terdapat bahwa pada bulan-bulan khhusus seperti bulan suro biasanya mereka mengadakan semacam upacara sakral disekitar area Kawah Ijen. Upacara tersebut bertujuan untuk memohon keselamatan saat menjalani pekerjaan sebagai penambang. Adat istiadat tersebut merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh penambang belerang yang dilaksanakan pada bulan Desember dan biasanya setiap kamis legi para penambag hanya menaruh sesaji di area sekitar penambangan, dengan kepercayaan dan mitologi yang disakralkana oleh mereka.








4.5.2     Kehidupan Ekonomi Penambang Belerang
Para penduduk disekitar kawah ijen rata-rata memiliki mata pencaharian sebagai petani dengan tingkat pendidikan umunya rendah, mereka bekerja dengan memanfatkan kekayaan alam sekitar salah satunya belerang yang berada dikawasan ijen ini. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi penduduk desa, dalam suatu masyarakat yang primitif orang harus memenuhi kebutuhannya sendiri tidak tergantung pada yang lain. Yang harus mereka penuhi terutama kebutuhan akan makanan,  pakaian, dan perumahan. Untuk mendapatkan makanan mereka dapat berburu binatang, berrtani atau bercocok tanam didaerah yang dianggap subur (swastha, 1995:04).
Sebelum menjadi penambang belerang mereka telah bekerja sebagai tukang batu dan kayu, tambal ban, buruh bangunan, buruh tan, buruh pemetik kopi dan buruh pemetik cengkeh dengan rata-rata dalam setiap bulannya mereka menghasilkan uang kurang lebih Rp 500.000 dan hasil tersebut tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Manusia hidup memerlukan kebutuhan baik yang bersifat material maupun spiritual. Dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia tersebut maka senantiasa ingin memenuhi kebutuhannya hingga tingkat kepuasan tercapai. Karena penduduk tidak memiliki lahan dan keahlian khusus maka mereka memilih bekerja sebagai penambang belerang.
Masyarakat Desa Tamansari dalam memperoleh penghasilan atau pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya banyak melakukan kegiatan sebagai mata pencaharian dibidang pertanian, buruh perkebunan, perdagangan, pertukangan dan sebagian kecil pegawai seperti guru dan lain-lain. Namun mata pencaharian tersebut kurang menjanjikan dari sisi pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan tidak berubahnya kehidupan ekonomi masyarakat Desa Tamansari. Mereka menyadari bahwa dengan mata pencaharian tersebut dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka berbagai cara mereka lakukan untuk memperbesar penghasilan sesuai dengan ketrampilan atau keahlian mereka.
Di Desa Tamansari sebenarnya terdapat sumber alam berupa belerang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya guna memperoleh pendapatan yang maksimal. Dengan diketemukannya sumber belerang ini masyarakat Desa Tamansari mulai berfikir dan berhitung apakah dengan pekerjaan sebagai penambang belerang bisa menambah sumber pendapatan guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya beserta keluarganya. Tentu saja besarnya pendapatan tergantung berapa banyak belerang yang mampu diangkut dari kawah ijen ke PT.Candi Ngimbri. Menurut hasil wawancara peneliti dengan para penambang mereka mengatakan bahwa pekerjaan menambang secara ekonomi lebih menguntungkan bila dibanding dengan pekerjaan sebelumnya sehingga masyarakat Desa Tamansari banyak yang beralih pekerjaan menjadi penambang belerang.
Secara umum pendapatan penambang belerang Desa Tamansari berbeda-beda, tergantung dari berapa banyak belerang yang diangkut dan berapa kali penambang mampu mengangkut belerang dari gunung Ijen. Penambang belerang kebanyakan adalah kaum laki-laki yang berusia sekitar 20 sampai 55 tahun. Penambang belerang harus menjual hasil angkutan belerang ke PT. Candi ngrimbi yang merupakan pemilik kontrak penambangan belerang. Penambang belerang mengambil bongkahan belerang di gunung diawasi oleh mandor kemudian ditimbang.
Pendapatan penambang belerang rata-rata 50 – 80 kilogram perhari dengan harga belerang perkilogramnya adalah 600 rupiah. Jika rata-rata pendapatannya adalah sekitar 25.000 – 40.000 per hari tergantung dari berapa besar beban belerang yang diangkut dan berapa kali kemampuan para penambang mengangkut belerang. Pendapatan dari penambang belerang dipergunakan oleh penambang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Menurut penuturan Bapak Asmuni salah satu koresponden yang berusia 40 tahun ini telah berprofesi sebagai penambang belerang selam 20 tahun. Dia menghidupi keluarganya sebagai penambang belerang dimana sehari-harinya mengangkut belerang rata-rata mengasilkan uang sekitar 40.000 perhari.
Rata-rata pendapatan 40.000 perhari juga didapatkan oleh responden lain seperti bapak Daman dan bapak Buang. Mereka mengangkut belerang rata-rata dua kali diangkut dan ada pula penambang hanya satu kali angkut yaitu bapak Nainik, hal ini dikarenkan faktor fisik dan faktor usia sehingga tidak maksimal dalam menambang belerang. Pendapatan para penambang belerang sehari-harinya dipergunakan oleh penambang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, untuk kebutuhan pangan dan penopangan. Pengeluaran penambang perbulannya rata-rata Rp. 1.000.000, bahkan ada beberapa penambang belerang yang pengeluarannya lebih dari Rp.1.000.000/bulan.
Pengeluaran penambang belerang meliputi pengeluaran pangan dan penopangan hidup lainnya, Muntiyah dan Sukamdi (1997:51) menjelaskan bahwa kebutuhan pangan yang termasuk kebutuhan dasar manusia meliputi rata-rata pengeluaran rata-rata pengeluaran perbulan untuk beras, lauk pauk dan sayuran, minyak goreng, minuman, tembakau (rokok) dan lain-lain seperti jajanan. Sedangkan untuk kebutuhan nonpangan meliputi pengeluaran rata-rata perbulan untuk perumahan seperti minyak tanah, rekening listrik, rekening telephone dan lain-lain; perawatan pribadi seperti sabun mandi, pasta gigi, sabun cuci dan lain-lain; sandang dan kesehatan.
Menurut penuturan bapak Asmuni pada tahun 2010 ini pengeluaran keluarganya tiap bulan adalah sebesar Rp. 1.473.500 /bulan, dengan rincian sebagai berikut: pengeluaran untuk pangan sebesar Rp. 756.000 /bulan, biaya sekolah anak sebesar Rp. 155.000 /bulan, sedangkan pendapatan bapak Asmuni pada tahun 2009 sebanyak Rp. 1.680.000. jadi rata-rata pendapatan Bapak Asmuni sebesar Rp. 1.400.000 /bulan. Dari perhitungan diatas dapat diketahui bahwa keluarga Bapak Asmuni tidak dapat menyisihkan pendapatan, karena pengeluaran lebih besar dari pada pendapatan.
Sedangkan bapak Daman, pada tahun 2009 pengeluarannya keluarganya sebanyak Rp. 1.015.000, Dengan rincian sebagai berikut: pengeluaran untuk pangan sebesar Rp. 580.000 /bulan, uang sekolah anak sebanyak Rp. 200.000 /bulan, kesehatan Rp. 235.000. pendapatan bapak Samin sebanyak Rp. 1.015.000. Dari perhitungan diatas dapat diketahui bahwa keluarga bapak Samin tidak bisa menyisihkan karena pendapatan dan pengeluaran sama besar.
Contoh perhitungan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga penambang belerang desa Tamansari diatas tidak mutlak dapat dijadikan sebagai patokan untuk mengukur kesejahteraan dan tidaknya keluarga penambang belerang desa Tamansari, hal ini dikarenakan pendapatan penambang mengalami fluktuatif setiap tahunnya. jika dilihat dari harga belerang, dapat dikatakan pendapatan meningkat, akan tetapi jika dilihat dari kondisi ekonominya dan kesejahteraan penambang masih belum mengalami peningkatan.
Dari kondisi diatas diharapkan ada campur tangan pemerintah atau Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi untuk membantu meningkatkan kesejahteraan penambang belerang. Dengan adanya pelatihan atau koperasi yang dapat membantu untuk mengembangkan usaha penambang belerang. Belerang di daerah gunung Ijen termasuk yang terbaik di dunia, hendaknya sumber daya alam ini dimanfatkan sebaik-baiknya guna kesejahteraan masyarakat sekitar gunung Ijen.
Pendapatan merupakan orientasi utama penambangan belerang, karena penambang berusaha memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan mereka beserta keluarga. Besarnya pendapatan yang diperoleh penambang belerang tergantung dari berapa banyak belerang yang diangkut dari gunung Ijen yang kemudian di bawa ke PT. Candi Ngrimbi, juga tergantung pada harga. Harga belerang yang diangkut dihitung per kilogram, tujuan dari penambang belerang adalah untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.
Sumber alam harus dimanfatkan sebaik-baiknya oleh manusia berdasarkan azas maksimal, lestari dan saing (Lembanas, 1985 : 68). Penduduk disekitar Kawah Ijen memanfatkan sumber daya alam belerang secara maksimal. Hal ini dapat diketahui dengan grafik penambang belerang dibawah ini ;








Grafik 4.2 Pendapatan Rata-rata Penambang Belerang Per Lima Tahun
Text Box: Rata-rata pendapatan penambang belerang (perlima tahun)Text Box: Tahun Text Box: 1988Text Box: 1993Text Box: 1998Text Box: 1978Text Box: 1973Text Box: 1968Text Box: 0   


 










Text Box: 1983Text Box: 2010Text Box: 2003Sumber : data dari wawancara dan observasi diolah tahun 2010



Dari grafik diatas dapat diketahui pada bahwa pada awal penambangan belerang yaitu tahun 1968 sampai 2010 mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah mata pencaharian penduduk dipengaruhi oleh keadaan geografi disekelilingnya (Kewiraan, 1968 : 104). Penduduk disekitar Ijen berpotensi memilih profesi sebagai penambang belerang karena mereka hanya memanfaatkan sumber daya alam tanpa harus mengeluarkan modal untuk usaha, mereka hanya membutuhkan fisik dan kondisi kesehatan yang bagus untuk menjadi seorang penambang belerang.

4.6  Dampak Penambangan Belerang Di Gunung Ijen Desa Tamansari
Dampak adalah sesuatu akibat yang ditimbulkan karena adanya sebuah perbuatan atau kegiatan. Usaha di bidang pertambangan adakalanya menimbulkan sebuah dampak. Dampak pertambangan tidak saja merupakan masalah pada sektor tambangnya, akan tetapi juga menyangkut mengenai masalah lingkungan hidup dan masyarakat disekitarnya. Di dalam pengelolaan lingkungan berasaskan pelestarian kemampuan agar hubungan manusia dengan lingkungannya selalu berada pada kondisi optimum, dalam arti manusia dapat memanfaatkan sumber daya dengan dilakukan secara terkendali dan lingkungannya mampu menciptakan sumbernya untuk dibudidayakan.
Pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya, terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara  bijaksana, terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup, terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang terlindungnya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. (Subagyo, 2002: 3).
            Semua ini memerlukan pengetahuan yang serius (mantap), baik segi yuridis maupun segi tekhnis pertambangan yang diperlukan. Masalah pertambangan disini dimaksudkan sebagai usaha pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam yang meliputi eksplorasi, ekploitasi, pengolahan, pemurnian, pengangkutan dan penjualan.
            Masalah ini adalah kewajiban kita bersama untuk senantiasa memelihara lingkungan hidup yang sehat, serasi dan seimbang antara manusia dan makhkuk hidup lainnya. Kewajiban memelihara lingkungan dibebankan kepada individu, badan usaha serta pemerintah. Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 menyatakan “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengolah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.” Salah satu bentuk kewajiban tersebut adalah dengan membayar uang jaminan reklamasi. Pembayaran uang jaminan reklamasi dimaksudkan agar lubang bekas galian setelah penambangan dilakukan, dapat ditimbun kembali. Ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup yang menyatakan “Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam perizinan usaha penambangan (Koesnadi. 1999), maka dalam izin dimaksud harus dicantumkan persyaratan dan kewajiban yang berkenaan dengan penataan terhadap ketentuan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 18 Ayat (3) UUPLH menyatakan: (1) Setiap usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha atau kegiatan. (2) Izin melakukan usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud apada ayat 1 diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.
            Usaha penambangan harus mendapat perhatian serius, karena sering kali usaha penambangan tersebut dilakukan dengan kurang memperhatikan akibatnya terhadap lingkungan hidup. Lingkungan Hidup yang diartikan luas, yaitu tidak hanya lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan ekonomi, sosial budaya. (Soemarwoto, 1989). Sedangkan lingkungan hidup secara umum menurut Emil salim diartikan yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia (Salim, 1976: 34). Lingkungan hidup menurut  Munadjat Danusaputra adalah Semua benda dan daya serta kondisi termasuk didalamnya manusia dan tingkah  perbuatannya yang terdapat didalam ruangan dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya (Danusaputra, 1980: 67). Hubungan timbal balik antara manusia dengan komponen-komponen alam harus berlangsung dalam batas keseimbangan (Zein, 1985). Apabila hubungan timbal balik tersebut terlaksana tidak seimbang, maka akan mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan fisik, ekonomi, sosial dan budaya (Otto, 1991).
            Berbicara mengenai dampak penambangan belerang di Gunung Ijen Desa Tamansari, Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi maka dapat dikaji dari sisi yaitu dampak positif dan dampak negatif.
1)      Dampak Positif     :
a.       Terserapnya tenaga kerja, yakni masyarakat sekitar Kawah Ijen sebagai penambang belerang maupun tenaga tehnis di perusahaan penambangan belerang tersebut. Dengan ini juga mengurangi tingkat pengangguran yang ada di sekitar daerah tersebut.
b.      Menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan kewajiban pengusaha penambang belerang dalam hal ini PT. Candi Ngrimbi untuk membayar retribusi dan iuran-iuran lain.
c.       Kualitas lingkungan di tempat penambangan meningkat dengan tajam dan alam sekitar menjadi tertata lebih baik, dengan kelengkapan infrastruktur dari penambangan. Karena itu kegiatan penambangan dapat menjadi daya tarik, sehingga penduduk banyak yang berpindah mendekati lokasi penambangan tersebut. Sering pula dikatakan bahwa bahwa kegiatan penambangan telah menjadi lokomotif ekonomi bagi masyarakat Tamansari.
d.      Memperlancar transportasi, karena yang tadinya jalan penduduk setempat hanya merupakan jalan setapak, maka diupayakan pengusaha untuk membuat jalan aspal agar dapat dilewati alat berat dan dump truck yang mengangkut belerang.
e.       Bagi para penambang, pekerjaan rutin mereka sebagai penambang belerang yang setiap hari bergelut dengan asap belerang telah merubah
f.       Memudahkan para wisatawan Ijen, karena para penambang belerang selain sebagai penambang terkadang juga ikut memandu jalan para turis naik ke Kawah Ijen.

2)      Dampak Negatif   :
a.       Berkurangnya sumber daya alam belerang.
b.      Resiko akibat penambangan belerang bagi penambang yakni para penambang belerang rawan terserang infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). "Sifat dari belerang atau sulfida itu adalah racun atau toksik. Karena itu sulfida yang berbentuk gas juga beracun karena menyerang saluran pernafasan dan paru-paru.
c.       Berubahnya organ paru-paru para penambang yakni lebih bertambah besar dari ukuran organ paru-paru manusia biasanya, akibat sering menghirup asap belerang.
d.      Pencemaran udara atau polusi bagi masyarakat di sekitar tempat pengolahan belerang.
e.       Adanya para pendatang dan wisatawan telah mengakibatkan terjadinya 
akulturasi kebudayaan yang mengancam eksistensi kebudayaan asli daerah setempat.


           


















BAB V
 PENUTUP

5.1  Kesimpulan
5.1.1        Awal dari penambangan belerang di kawah ijen dimulai sejak tahun 1911, yakni pada masa kolonialisasi Belanda, namun penambangan hanya bersifat ala kadarnya yang hanya mengambil belerang pada saat ada pesanan belerang  perdagangan Belanda dan sifat penambangan ini adalah belum resmi.
5.1.2        Penambangan resmi belerang di Kawah Ijen dimulai tahun 1968 dimana penambangan itu dilakukan oleh individu dan dijual kepada tengkulak yang berada di Gumuk Batur yang sekarang masuk kedalam wilayah Desa Licin. Penambang yang menambang belerang di Kawah Ijen pada tahun itu berjumlah sekitar 15 orang dengan harga jual belerang perkilonya Rp. 2,-, kemudian pada tahun 1970 penambangan tersebut dilakukan oleh CV. Argomulyo yang mempunyai tempat belum permanen di Desa Tamansari dan pada tahun 1973 CV. Argomulyo berubah menjadi PT. Candi Ngrimbi sampai sekarang.
5.1.3        Keunikan penambangan belerang di gunung Ijen ialah adanya sebuah tradisi suroan yang memakai “ jenang pitu” tiap bulan suro untuk memohon keselamatan pada saat melakukan penambangan, selain itu tiap kamis legi memberi sesaji sebagai rasa syukur atas hari dibukanya penambangan.
5.1.4        Secara umum dapat disimpulkan bahwa kuantitas belerang yang dihasilkan secara kontinue terus mengalami kenaikan hal ini bukan disebabkan oleh perkembangan teknologi alat tambang yang digunakan tetapi dikarenakan kuantitas penambang yang semakin meningkat.
5.1.5        Dengan menjadi penambang kebutuhan hidup para penambang bisa tertutupi meski terkadang biaya pengeluaran untuk biaya hidup lebih besar dari penerimaan hasil kerja sebagai penambang.
5.1.6        Dampak penambangan belerang di gunung Ijen dapat dikategorikan menjadi dampak positif dan dampak negatif. Dampak Positifnya adalah (a) Terserapnya tenaga kerja, yakni masyarakat sekitar Kawah Ijen sebagai penambang belerang maupun tenaga tehnis di perusahaan penambangan belerang tersebut. Dengan ini juga mengurangi tingkat pengangguran yang ada di sekitar daerah tersebut.(b) Menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan kewajiban pengusaha penambang belerang dalam hal ini PT. Candi Ngrimbi untuk membayar retribusi dan iuran-iuran lain. (c) Kualitas lingkungan di tempat penambangan meningkat dengan tajam dan alam sekitar menjadi tertata lebih baik, dengan kelengkapan infrastruktur dari penambangan. Karena itu kegiatan penambangan dapat menjadi daya tarik, sehingga penduduk banyak yang berpindah mendekati lokasi penambangan tersebut. Sering pula dikatakan bahwa bahwa kegiatan penambangan telah menjadi lokomotif ekonomi bagi masyarakat Tamansari. (d) Memperlancar transportasi, karena yang tadinya jalan penduduk setempat hanya merupakan jalan setapak, maka diupayakan pengusaha untuk membuat jalan aspal agar dapat dilewati alat berat dan dump truck yang mengangkut belerang. (e) Bagi para penambang, pekerjaan rutin mereka sebagai penambang belerang yang setiap hari bergelut dengan asap belerang telah merubah. (f)Memudahkan para wisatawan Ijen, karena para penambang belerang selain sebagai penambang terkadang juga ikut memandu jalan para turis naik ke Kawah Ijen.
Dampak Negatifnya ialah : (a) Berkurangnya sumber daya alam belerang. (b) Resiko akibat penambangan belerang bagi penambang yakni para penambang belerang rawan terserang infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). "Sifat dari belerang atau sulfida itu adalah racun atau toksik. Karena itu sulfida yang berbentuk gas juga beracun karena menyerang saluran pernafasan dan paru-paru.
(c)Berubahnya organ paru-paru para penambang yakni lebih bertambah besar dari ukuran organ paru-paru manusia biasanya, akibat sering menghirup asap belerang. (d) Pencemaran udara atau polusi bagi masyarakat di sekitar tempat pengolahan belerang, (d) Adanya para pendatang dan wisatawan telah mengakibatkan terjadinya  akulturasi kebudayaan yang mengancam eksistensi kebudayaan asli daerah setempat.


5.2  Saran
            Berdasarkan kesimpulan tersebut dapat diberikan saran sebagai berikut:
a.       Kepada para peneliti hendaknya menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengadakan penelitian serupa dengan fokus kajian yang diperluas. Misalnya dari segi politik, budaya, dan pendidikan. Bagi para pembaca dapat dijadikan rujukan dalam penelitian yang sejenis.
b.      Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk menambah dan memperkaya perbendaharaan tentang kajian sejarah dan sosial ekonomi penambang sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan kajian akademis maupun non akademis.
c.       Agar dapat dijadikan pertimbangan pemerintah daerah maupun pusat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil khususnya penambang belerang.
d.      Agar dapat dijadikan pertimbangan kepada pihak perusahaan pengelola penambangan belerang di gunung Ijen agar lebih memperhatikan para pekerja tambangnya utamanya mengenai peralatan keselamatan kerja. Asuransi kerja, dan upah kerja penambang.



DAFTAR PUSTAKA

As’ad, Moh. 1991. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty

Ahyari, Agus. 1968. Manajemen Produksi Perencanaan Sistem Produksi. Yogyakarta: BPPE

Anonim. 2010. “Mafia” Belerang Gunung Ijen. Pahitnya Mencari Sekepal Nasi. http://www.dutamasyarakat.com/rubrik.php?Id=21431&kat=Daerah.

Basri, Mokhamad. 1998. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Angkatan Kerja Menjadi Buruh Tambang Belerang (Suatu Studi Di Gunung Ijen Kabupaten Banyuwangi). Penulisan Tidak Dipublikasikan. Skripsi. Jember: Universitas Jember.

Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Forestier, H. 2007. Ribuan Gunung; Ribuan Alat Bantu Pra Sejarah Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur. Diterjemahkan Gustaf Sirait, Dkk. Jakarta: Keputakaan Populer dan Gramedia.

Gottschalk, L. 1983. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press

Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat (Ed.). 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Kuntowijoyo. 1993. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tirta Wacana

Lemhanas. 1985. Kewiraan Untuk Mahasiswa. Dirjendikti Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Mumtiyah dan Sukamdi. 1997. Strategi Kelangsungan Hidup Rumah Tangga Miskin Pedesaan. Yogyakarta: Pusat Penelitian kependudukan UGM.

Notosusanto, N. 1971. Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sedjarah. Djakarta: Pusat Sedjarah ABRI-Dephankam.

Notosusanto, N. 1978. Masalah Penelitian Kontemporer (Suatu Pengalaman). Jakarta: Yayasan Idayu

Penyusunan Pusat Studi Kewiraan. 1968. Ilmu Kewiraan. Malang: lemlit Unibraw.

Rizanti, Idha. 2007. Profil kehidupan Penambang Belerang Di Sekitar Kawah ijen (Suatu Studi Di Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi). Penulisan Tidak Dipublikasikan. Skripsi. Jember: Universitas Jember.

Salim.H.S., H. S.H. M.S. 2004. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sarwedi, Drs. 1990. Suatu Studi Kasus Tentang Aspek Pembagian Pendapatan Masyarakat Pedesaan Di Desa Ajung Kabupaten Jember. Penelitian tidak Dipublikasikan. Jember: Pusat Penelitian Universitas Jember.

Smelser, N.J. 1987. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Bahana Aksara

Soekanto, S. Prof. Dr. S.H, M.A. 1983. Kamus Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali.

Soelaiman, M. 1995. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT. Eresco.

Susilowati, Emi Tri. 1996. Hubungan Antara Keadaan Sosial Ekonomi Penambang Belerang Dengan Motivasi Pendidikan Anak ( Suatu Studi Tentang Penambang Belerang Di Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi). Penulisan Tidak Dipublikasikan. Skripsi. Jember: Universitas Jember.

Sumarnonugroho, T. 1984. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: PT. Hanindita.

Swastha, Basu. 1995. Pengantar Bisnis Modern. Yogyakarta: Liberty.

Usman, Kasim. 1982. Partisipasi dan sikap Masyarakat Dalam Bantuan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Rajawali Press.

Salim, Emil. 1993.  Pembangunan Berwawasan Lingkungan . LP3ES. Jakarta.

Soemarmoto, Otto. 1991. Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

 ______ , 1989. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pengembangan. Djabantan. Bandung.

Subagyo, P.Joko. 2002.  Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya. Rineka Cipta. Jakarta.

Zen, M.T.Editor. 1985. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup.